Wednesday, July 23, 2008

‘Abid al-Jabiri dan Dekonstruksi Epistemologi Islam*


‘Abid al-Jabiri dan Dekonstruksi Epistemologi Islam*

Empat dekade terakhir ini merupakan periode sanagt krusial dalam sejarah pemikiran Islam. Karena dalam rentang waktu empat puluh tahun inilah sebuah tren pemikiran dan kesarjanaan Islam baru telah muncul di tengah-tengah masyarakat Muslim. Perkembangan ini ditandai dengan menjamurnya karya-karya akademis dan intelektual yang secara radikal menyikapi warisan budaya dan intellektual Islam. Sulit untuk menafikan bahwa tren ini sangat kuat sekali di pengaruhi oleh apa yang sedang berkembang di dunia filsafat, ilmu-ilmu sosial dan humaniora di Barat. Para advokator pemikiran ini banyak mengadopsi “teori kritik, dalam berbagai bentuk ekpresi dan representasinya, mulai dari Hegel hingga Karl Marx dan terus turun hingga ke Hannah Ardent, Max Horkheimer dan Jurgen Habermas,” yang dianggap sebagai “kekuatan sentral dalam tradisi kritik Barat.”

Bermodalkan dengan perangkat filsafat dan metodologi inilah, para sarjana pendukung gerakan intelektual ini melakukan apa yang disebut oleh George Tarabisyi dengan “pembantaian turath” (madhbahah al-turath/massacre of tradition).[1] Mereka mendekonstruksi hampir kesulurahan bangunan ilmu yang telah dihasilkan oleh para pemikir dan ulama masa silam seperti Tafsir, Fiqh dan Usul Fiqh, Ilmu Hadith, Teologi, Kalam dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena ada anggapan, yang sesungguhnya masih perlu di buktikan, bahwa kemunduran dan keterpurukan masyarakat Arab dan Muslim pada hari ini disebabkan oleh kuatnya cengkraman pola pikir tradisi masa lampau pada masyarakat hari ini

Salah satu tokoh yang mengusung isu dekonstruksi epistemologi Islam adalah Abid al-Jabiri. Para tokoh Islam liberal di Indonesia acapkali mengutip pendapat beliau dalam menguatkan argumentasi mereka, walaupun para liberalis di Arab tidak se-ekstrim tokoh-tokoh Jil di Indonesia karena mereka tidak menyinggung wilayah sensitif keagamaan, seperti Al Qur’an, syari’at, tetapi mereka hanya masuk lewat pintu “turath”.

Siapakah Al Jabiri ?

Al Jabiri dilahirkan di Figuig, sebelah Selatan Maroko pada tahun 1936, Jabiri menyelesaikan pendidikan ibtidaiyahnya di madrasah hurrah wataniyyah, sekolah agama swasta yang didirikan sebuah gerakan kemerdekaan ketika itu. Pendidikan menengahnya dia tempuh dari 1951-1953 di Casabalanca dan memperoleh Diploma Arabic High School setelah Maroko merdeka. Sejak dari awal Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya dia mulai pada tahun 1958 di Universitas Damaskus, Syiria. Jabiri tidak lama bertahan di universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke Universtas Rabat yang baru saja didirikan, dinegara asalnya. Dia menyelesaikan program masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Tarikh ‘inda Ibn Khaldun (Filsafat Sejarah Ibn Khaldun), dibawah bimbingan N. Aziz Lahbabi (w. 1992), juga seorang pemikir Arab Maghrib yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sarter. Dia meraih gelar Doktor Falsafah pada tahun 1970 dibawah bimbingan Najib Baladi. Disertasi Doktronya juga berkisar seputar pemikiran Ibn Khaldun . Jabiri muda merupakan seorang aktifis politik berideologi sosialis. Dia bergabung dengan partai Union Nationale des Forces Populaires (UNFP), yang kemudian berubah menjadi Union Sosialiste des Forces Populaires (USFP). Pada tahun 1975 dia menjadi anggota biro politik USFP. Disamping aktif dalam politik, Jabiri juga banyak bergerak di bidang pendidikan. Dari tahun 1964 dia telah mengajar filsafat di Sekolah Menengah, dan secara aktif terlibat dalam program pendidikan nasional.

Jabiri juga merupakan tokoh kontroversial. Banyak ide dan konsep yang dilontarkannya sangat provokatif sehingga mendorong orang untuk bereaksi. Diantara ide barunya adalah seperti epistemological rupture (al-qati’ah al-ibistimulujiyyah) yang di ambilnya dari Gaston Bachelard, trilogi bayani, ‘irfani, dan burhani nya dan lain sebagainya

Kritik Jabiri atas Pemikiran Islam Kontemporer

Jabiri punya ambisi besar untuk membangun sebuah epistemologi baru yang sesuai dengan perkembangan masyarakat hari ini. Dia merasa tidak puas dengan usaha pembaharuan yang telah dan sedang dilakukan oleh para pemikir dan intelektual Arab-Muslim. Dia mengkritik gerakan salaf, karena kehilangan objektifitas dan historisitas (la tarikhiyyah wa ‘llamawdu’iyah) dalam membaca turats.[2] Mereka terlalu mengagungkan pencapain masa silam sehingga cenderung mengabaikan realitas sosial masyarakat masa kini; mereka seolah-olah tidak berpijak pada bumi nyata. Kritik seperi ini bukan menjadi monopoli Jabiri. Hampir keseluruhan pemikir Arab Muslim hari ini mempunyai pandangan yang sama ketika melihat kelompok salaf. Yang menarik Jabiri mengidentifikasikan salafi ini dengan pemikir yang dalam literatur modern biasanya dikategorikan sebagai modernis Muhammad ‘Abduh dan Afghani.
Meskipun demikian Jabiri juga tidak setuju dengan pendekatan dan solusi yang ditawarkan oleh kelompok liberal yang terlalu silau dengan kemajuan dan kecanggihan peradaban barat sehingga sanggup untuk menjadikannya model sebuah bangunan peradaban.[3]

Selanjutnya Jabiri menilai bahwa baik sikap salafi maupun liberal bukanlah sebuah alternatif terbaik menyelesaikan problema yang sedang dihadapi masyarakat Arab-Muslim. Kesalahan mereka, katanya, terletak pada cara berpikir merekayang mengadopsi pola pikir qiyasi, pola pikir yang punya kecenderungan untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namuzhaj salafi). Mereka sering membuat analogi dalam menyelesaikan masalah, menganalogikan fakta-fakta aktual dengan dengan hal ghaib “qiyas al-ghaib ‘ala al-shahid’ (analogi yang invisible dengan yang visible), menganalogikan masa lalu dengan masa sekarang, dan masa akan datang dengan masa lalu dan sekarang.

Kesimpulan

Dapat ditarik sebuah kesimpulan, Jabiri sepertinya berusaha menjadi penilai yang objektif dan berusaha mengambil yang terbaik dari pemikiran yang ada. Tetapi sayangnya, baik sadar atau tidak Jabiri sebenarnya telah hanyut kedalam rentak kelompok liberal yang menurutnya menjadikan peradaban Barat sebagai model ideal dalam membangun kembali peradaban Islam. Gagasan Jabiri yang perlu dipertanyakan juga adalah keinginannya agar umat Islam melakukan epistemic rupture sebagaimana yang dilakukan Barat. Alasannya karena, menurut Jabir proses ini sudah pernah dilakukan oleh Ibn Rusd. Yaitu ketika Ibn Rush telah berhasil memutus hubungan epistemologinya dengan mazhab pemikiran yang dibangun Ibn Sina dan al-Ghazali, yang menurutnya secara kuat terpengaruh oleh pemikiran Hermeticism Yunani. Tapi benarkah Ibn Rushd berhasil melepaskan diri dari jaringan pemikiran yang dibangun oleh ahli falsafah Arab Timur dengan mazhab peripatetiknya. Rasanya Jawabannya adalah negatif. Sebab realitasnya Ibn Rushd sebagaimana al-Farabi dan Ibn Sina terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Karya-karyanya dikenal sebagai the best “Commentator of Aristotle”. Komentar-komentarnya terhadap Aristotle telah menjadi standard literatur di universitas-universitas Barat pada akhir abad ke 17.

Sayangnya dalam kancah pemikiran di Indonesia, perbedaan-perbedaan ini jarang dikedepankan, sehingga seolah-olah pikiran-pikiran Jabiri, Nasr Hamid dan lainnya, ditampilkan nyaris tanpa cacat, sebagai alternatif baru yang menjanjikan kemajuan bagi umat Islam. Menurut George Tarabisyi betapapun beragamnya model pembacaan turats yang diketengahkan oleh pemikir Arab kontemporer tersebut, sesungguhnya semuanya justru berakhir pada pemenggalan/penjagalan turats itu sendiri.

* Sumber : Hasil diskusi sabtuan INSISTS dan makalah Dr. Nirwan Syafrin

[1] George ÙarÉbÊshÊ, MadhbaÍah al-TurÉth fi al-ThaqÉfah al-‘Arabiyyah al-Mu‘ÎÉarah (BeirËt: DÉr al-SÉqi, 1993).
[2] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Nahnu wa al-Turats, 13.
[3] M.A. Jabiri, Ishkaliyyat, 41.

No comments: