Saturday, July 26, 2008

Bahaya Orientalisme Terhadap Pemikiran Islam: Studi Kasus Al-Qur’an

Adnin Armas, M.A.

Sejak Islam muncul, kalangan Yahudi dan Kristen telah memusuhi ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. Sejak awal, hujatan demi hujatan terus menerus dilakukan. Mereka menjuluki Rasulullah saw sebagai Nabi palsu (psedo propheta); menganggap al-Qur’an sebagai karangan Muhammad yang isinya penuh dengan kebohongan-kebohongan, dan menyatakan Islam sebagai agama Yahudi/Kristen yang sesat. Mengingat kajian Orientalis yang begitu luas terhadap pemikiran Islam mencakup al-Qur’an, Hadits, Sirah Nabi, Sejarah Islam, Kalam, Fikh dan Usul Fikh, Sufi, Perbandingan Agama, Sejarah Islam di Nusantara dan lain-lain, maka makalah di bawah ini akan memfokuskan kepada kajian para Orientalis terhadap al-Qur’an.
Sedikit berbeda dengan para pendahulu mereka, yakni teolog Yahudi dan Kristen yang mengkaji Islam dengan motivasi ideologis, kalangan Orientalis modern yang mengkaji al-Qur’an, mengklaim pendekatan mereka sekarang adalah “ilmiah”. Tulisan di bawah ini akan menunjukkan di balik pendekatan “ilmiah”, ternyata bias-bias pengalaman keagamaan Yahudi-Kristen telah ikut dibawa masuk ke dalam studi Islam. Liberalisasi pemikiran yang terjadi dalam Yahudi-Kristen dijadikan titik tolak kajian terhadap Islam.

Metode Kritis-Historis
Para Orientalis modern menggunakan metode kritis-historis (überlieferungsgeschichtliche) ketika mengkaji al-Qur’an. Metode tersebut sebenarnya berasal dari studi kritis kepada Bibel. Metode kritis-historis tersebut karena Bibel memiliki persoalan yang sangat mendasar seperti persoalan teks, banyaknya naskah asal, versi teks yang berbeda-beda, redaksi teks, gaya bahasa (genre) teks dan bentuk awal teks (kondisi oral sebelum Bibel disalin). Persoalan-persoalan tersebut melahirkan kajian Bibel yang kritis-historis. Akhirnya, lahirlah kajian-kajian kritis Bibel yang mendetil seperti kajian mengenai studi filologi (philological study), kritik sastra (literary criticism), kritik bentuk (form criticism), kritik redaksi (redaction-criticism), dan kritik teks (textual criticism). Para Orientalis menggunakan berbagai jenis kritik tersebut ke dalam studi al-Qur’an. Kajian filologis (philological study), misalnya, dianggap sangat penting untuk menentukan makna yang diinginkan pengarang. Kajian filologis bukan hanya mencakup kosa kata, morfologi, tata bahasa, namun ia juga mencakup studi bentuk-bentuk, signifikansi, makna bahasa dan sastra.[1]
Pada tahun 2001, Christoph Luxenberg (nama samaran) dengan menggunakan pendekatan filolofis, menyimpulkan al-Qur’an perlu dibaca dalam bahasa Aramaik. Dalam pandangan Luxenberg, sebagian besar al-Qur’an tidak benar secara tata bahasa Arab. Al-Qur’an ditulis dalam dua bahasa, Aramaik dan Arab.[2]
Luxenberg menulis “Cara membaca al-Qur’an dengan bahasa Syria-Aramaik. Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa al-Qur’an” (Die syro-aramäische Lesart des Koran. Ein Beitrag zur Entsclüsselung der Koransprache). Dengan menggunakan metode ilmiah filologis, (the scientific method of philology) Luxenberg ingin menghasilkan teks al-Qur’an yang lebih jelas (producing a clearer text of the Qur’an). Ia berpendapat bahwa pada zaman Muhammad, bahasa Arab bukanlah bahasa yang tertulis. Bahasa komunikasi yang tertulis adalah bahasa Syiriak. Bahasa Syiriak ini digunakan di Timur Dekat sejak dari abad kedua hingga abad ketujuh. Syiriak adalah bahasa Edesssa, sebuah kota di atas Mesopotamia. Ketika Edessa berhenti menjadi sebuah entitas politik, orang-orang Kristen masih menggunakan bahasa tersebut yang kemudian menjadi sebuah budaya. Bahasa tersebut menyebar ke seluruh Asia sejauh Malabar dan Timur Cina. Ketika al-Qur’an muncul, bahasa Syiriak masih menjadi bahasa komunikasi pada umumnya masyarakat Aramaean, Arab dan sedikit bangsa Persia. Dan yang paling penting diketahui, menurut Luxenberg, literatur Syiriak-Aramaik adalah ekslusifitas Kristen.[3]
Kajian filologis Luxenberg terhadap al-Qur’an menggiringnya untuk menyimpulkan: (1) bahasa al-Qur’an sebenarnya bukan bahasa Arab. Karena itu, banyak kata-kata dan ungkapan yang sering dibaca keliru atau sulit dipahami kecuali dengan merujuk pada bahasa Syriak-Aramaik yang konon merupakan merupakan lingua franca pada masa itu; (2) Bukan hanya kosakatanya berasal dari Syriak-Aramaik, bahkan isi ajarannya pun diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen-Syiria (Peshitta); (3) Al-Qur’an yang ada tidak otentik, perlu ditinjau kembali dan diedit ulang.[4]
Para Orientalis juga menggunakan kritik sastra (literary criticism) untuk mengakaji al-Qur’an. Kritik sastra, yang terkadang disebut sebagai studi sumber (source criticism) berasal dari metodologi Bibel. Dalam kajian kritis terhadap sejarah Bibel, kritik sastra/sumber telah muncul pada abad 17 dan 18 ketika para sarjana Bibel menemukan berbagai kontradiksi, pengulangan perubahan di dalam gaya bahasa, dan kosa kata Bibel. Mereka menyimpulkan kandungan Bibel akan lebih mudah dipahami jika sumber-sumber yang melatarbelakangi teks Bibel diteliti.[5]
Source criticism mendapat wajah baru setelah Julius Wellhausen (1844-1918) menulis Prolegomena to the History of Israel (1878). Menurut Wellhausen, sumber bagi Musa untuk menulis Taurat berasal dari 4 dokumen, yang disebut dengan dokumen J, E, D dan P. Materi dalam dokumen “J” (disebut demikian sebagai singkatan kepada Yahweh [Jehovah]) diduga telah ditulis sekitar 850 S.M di kawasan Kerajaan bagian selatan. Dokumen dalam “J” itu adalah personal, biografis dan anthropormohis. Dokomen dalam “J” meliputi kenabian seperti etika dan refleksi teologis. Materi dalam dokumen “E” (disebut demikian sebagai singkatan kepada Elohim [Tuhan]) dan ditulis sekitar tahun 750 S. M. di kawasan Kerajaan bagian Utara. Dokumen dalam “E” lebih objektif, kurang menyentuh masalah etika dan refleksi teologis dan lebih kepada partikular yang konkrit. Menurut beberapa sarjana setelah Wellhausen, kedua dokumen tersebut digabungkan sekitar taahun 650 S. M. oleh seorang editor yang tidak diketahui. Hasilnya menjadi “JE.” Karangan tersebut menjadi lengkap dangan materi “D” dan “P”. “D” ditulis sekitar tahun 621 S.M., dan “P” ditulis sekitar 570 sampai 445 S.M. Materi dalam dokumen “P” menyentuh asal-mula dan institusi teokrasi, genealogi, ritual dan pengorbanan (sacrifices).[6]
Pendekatan sastra ke dalam studi al-Qur’an dilakukan oleh John Wansbrough (m.2002). Wansbrough berpendapat kanonisasi teks al-Qur’an terbentuk pada akhir abad ke 2 Hijrah. Oleh sebab itu, semua hadits yang menyatakan tentang himpunan al-Qur’an harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya secara historis. Semua informasi tersebut adalah fiktif yang punya maksud-maksud tertentu. Semua informasi tersebut mungkin dibuat oleh para fuqaha’ untuk menjelaskan doktrin-doktrin shariah yang tidak ditemukan di dalam teks, atau mengikut model periwayatan teks orisinal Pantekosta dan kanonisasi Kitab Suci Ibrani. Semua informasi tersebut mengasumsikan sebelumnya wujudnya standar (canon) dan karena itu, tidak bisa lebih dahulu dari abad 3 Hijriah.[7] Menurut Wansbrough untuk menyimpulkan teks yang diterima dan selama ini diyakini oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang belakangan yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Teks al-Qur’an baru menjadi baku setelah tahun 800 M.[8]
Salah satu jenis kritik yang dilakukan Orientalis modern ke dalam al-Qur’an adalah kritik teks (textual criticism), yang akan mengkaji segala aspek mengenai teks. Tujuannya menetapkan akurasi sebuah teks. Menganalisa teks melibatkan dua proses, yaitu edit (recension) dan amandemen (emendation). Mengedit adalah memilih, setelah memeriksa segala material yang tersedia dari bukti yang paling dapat dipercaya, yang menjadi dasar kepada sebuah teks. Amandemen adalah menghapuskan kesalahan-kesalahan yang ditemukan sekalipun di dalam manuskrip-manuskrip yang terbaik.[9]
Metode kritis-historis menggunakan beberapa jenis kritik tersebut. Para Orientalis mengklaim metode kritis-historis lebih baik dibanding dengan dogma yang diyakini oleh kaum Muslimin.
Orientalis yang termasuk paling awal mengaplikasikan metode kritis-historis ke dalam studi al-Qur’an adalah Theodor Nöldeke (1836-1930).[10] Sehingga kini, metode tersebut masih terus digunakan oleh para orientalis lain.
Asumsi dasar dari metode-kritis historis ini adalah teks al-Qur’an, sebagaimana teks-teks “kitab suci” lainnya telah mengalami perubahan-perubahan. Selain tidak memiliki autografi dari naskah asli, wajah teks asli juga telah dirusak (berubah), sekalipun alasan perubahan itu demi kebaikan. Manuskrip-manuskrip awal al-Qur’an, misalnya, tidak memiliki titik dan baris, serta ditulis dengan khat Kufi yang sangat berbeda dengan tulisan yang saat ini digunakan. Jadi, teks yang diterima (textus receptus) saat ini, bukan fax dari al-Qur’an yang pertama kali. Namun, ia adalah teks yang merupakan hasil dari berbagai proses perubahan ketika periwayatannya berlangsung dari generasi ke generasi di dalam komunitas masyarakat.[11]
Menurut Arthur Jeffery, seorang orientalis berasal dari Australia, al-Qur’an menjadi teks standart dan dianggap suci, padahal sebenarnya ia telah melalui beberapa tahap.[12] Dalam pandangan Jeffery, sebuah kitab itu dianggap suci karena tindakan masyarakat (the action of community). Tindakan komunitas masing-masing agama.yang menjadikan sebuah kitab itu suci.[13] Penduduk Kufah, misalnya, menganggap Mushaf ‘AbdullÉh ibn Mas’ud sebagai al-Qur’an edisi mereka (their Recension of the Qur’Én). Penduduk Basra menganggap Mushaf Abu Musa, penduduk Damaskus dengan Mushaf Miqdad ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria dengan Mushaf Ubay.[14]
Pendapat Arthur Jeffery sebenarnya merupakan refleksi dari pengalaman agama Kristen yang dianutnya. Dalam ajaran Kristen, Bibel merupakan sebuah persoalan yang tidak mungkin lagi untuk diselesaikan. Hal ini disebabkan teks asli sudah tidak ada lagi dan terdapat beragam versi yang tidak mungkin didamaikan. Gereja Timur (Ecclesia Orientalia) dan Gereja Barat (Ecclesia Occidentalia) berbeda dalam menerima teks standart. Mereka berbeda dalam menyikapi Bibel yang diinformasikan oleh Matius, Markus, Lukas, Yohannes, Phillip, Mary, Thomas, Yudas dan Barnabas.
Dengan menggunakan metode kritis-historis, para Orientalis menganalisa sejarah teks al-Qur’an dari zaman Rasulullah saw sampai tercetaknya teks al-Qur’an. Ketika Muhammad hidup, dalam pandangan Aloys Sprenger (1813-1893), [15] Hartwig Hirshfeld (m. 1934),[16] dan Arthur Jeffery, [17] Régis Blachère,[18] Muhammad tidak berniat untuk menghimpun materi wahyu ke dalam sebuah mushaf.
Mengenai mushaf yang dihimpun pada zaman Abu Bakr dan ‘Umar, sebagian orientalis seperti Leone Caentani (m. 1935) dan Friedrich Schwally (m. 1919)[19] menolak jika pada zaman Abu Bakr, al-Qur’an telah dihimpun. Menurut Caentani, atsar mengenai mushaf telah dihimpun pada zaman Abu Bakr bertujuan untuk menjustifikasi tindakan ‘Uthmanmenghimpun al-Qur’an.[20] Sedikit berbeda dengan kedua orientalis tersebut, orientalis lain seperti Arthur Jeffery menganggap bahwa Mushaf Abu Bakr ada namun mushaf tersebut bukanlah mushaf resmi)., namun mushaf pribadi (It was a private collection made for the first Caliph Abu Bakr).[21] Jeffery menegaskan banyak Mushaf lain yang beredar dan beredar di berbagai wilayah. Diantaranya, Salim ibn Mu‘qib, ‘Ali ibn Abi Talib, Anas ibn Malik, Abu Musa al-Ash‘ari, Ubay ibn Ka‘b dan Abdullah ibn Mas‘ud.[22] Beragam mushaf sudah beredar di berbagai wilayah. Mushaf Miqdad ibn al-Aswad,[23] yang berdasarkan kepada Mushaf ibn Mas’ud beredar di Damaskus. Mushaf Ibn Mas’uddigunakan di Kufah. Mushaf Abu Musa al-Ash‘ari di Basra dan Mushaf Ubay ibn Ka‘b di Syiria. Pendapat Jeffery yang menganggap mushaf Abu Bakar adalah mushaf pribadi diikuti oleh para orientalis lain seperti Richard Bell,[24] Régis Blachère,[25] dan bahkan pemikir Muslim seperti Mustafa Mandur.[26]
Dengan kajian historis-kritis, Arthur Jeffery juga menyimpulkan sebenarnya terdapat Mushaf-Mushaf tandingan (rival codices) yang menandingi Mushaf Uthmani. Menurut Jeffery, terdapat 15 Mushaf primer dan 13 Mushaf sekunder.[27] Bagi Jeffery, banyaknya Mushaf pra-‘UthmÉni menunjukkan bahwa pilihan ‘Uthman terhadap tradisi teks Medinah tidak berarti pilihan terbaik.[28] Jeffery juga menyimpulkan Ibn Mas’ud menolak untuk menyerahkan Mushafnya kepada ‘Uthman yang mengirim teks standart ke Kufah.[29]Dalam pandangan Jeffery, Ibn Mas’ud mengeluarkan al-FatiÍah,[30] surah al-Nas dan al-Falaq dari al-Qur’an. Jeffery juga berpendapat Ubay ibn Ka‘b telah menambahkan dua ekstra surah yaitu al-Hafd dan al-khala[31]ke dalam al-Qur’an. Jeffery juga menyalahkan tindakan ‘Uthman yang menutup perbedaan mushaf;[32] menuduh al-Hajjaj ibn Yusuf al-Thaqafi telah membuat al-Qur’an baru dan mengecam pembatasan ikhtiyar (the limitation of ikhitiyar) yang dilakukan oleh sultan Ibn Muqla (m. 940 M) dan sultan Ibn ‘Isa (m. 946 M) pada tahun 322 H karena desakan dan rekayasa Ibn Mujahid (m. 324/936 M).[33] Disebabkan persoalan-persoalan yang disebutkan di atas, Jeffery ingin menyusun al-Qur’an dengan bentuk yang baru ia sebut sebagai al-Qur’an edisi kritis (a critical edition of the Qur’Én).
Kesimpulan
Metode para Orientalis tidak dibangun atas dasar keimanan. Padahal, ilmu mengenai al-Qur’an adalah menyangkut masalah keimanan. Oleh sebab itu, kaum Muslimin perlu berhati-hati ketika membaca karya orientalis mengenai al-Qur’an. Abu Hurayrah, Ibn ÑAbbas, Zayd ibn Aslam, Ibn Sirin, al-Hasan al-Basri, al-Dahhak, Ibrahim al-Nakhai menyatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah din (agama). Oleh sebab itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.” (inna hadza al-Ñilm din fanzuru Ñamman ta´khuzuna dinakum).[34]
Jadi, para Orientalis tidak memenuhi beberapa persyaratan untuk menafsirkan al-Qur’an, seperti akidah yang sahih, komitmen dengan kewajiban agama dan akhlak Islam. Al-Tabari, misalnya, menegaskan bahwa syarat utama seorang penafsir adalah akidah yang benar dan komitmen mengikut sunnah. Orang yang akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi urusan keagamaan! (min shartihi sihhat al-i‘tiqad, wa luzum sunnat al-din, fainna man kana magmusan ‘alayhi fi dinihi, la yu’taman ‘al al-dunya, fa kaifa ‘ala al-din!).[35] Senada dengan al-Tabari, al-Suyuti mengatakan bahwa sikap sombong, cenderung kepada bid‘ah, tidak tetap iman dan mudah goyah dengan godaan, cinta dunia yang berlebihan dan terus-menerus melakukan dosa bisa menjadi hijab dan penghalang dari menerima anugerah ilmu Allah swt.[36]
Jadi, keimanan dan keyakinan akan kebenaran al-Qur’an sangat penting bagi seorang yang mengkaji al-Qur’an dan metode-kritis adalah parasit yang akan menghilangkan keimanan dan keyakinan akan kebenaran al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah tanzil. Al-Qur’an tidak sama dengan dengan teks karangan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudia benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”.[37] Allah juga berfirman yang artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).[38] Allah juga berfirman yang artinya: “Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”[39]

[1] Edgar Krentz, The Historical-Critical Method (Philadelphia: Fortress Press, 1975), 49.
[2] François De Blois, Die syro-aramäische Lesart des Koran. Ein Beitrag zur Entsclüsselung der Koransprache. By ‘Christoph Luxenberg’ (anonim), Journal of Quranic Studies 5 (2003), 92-97.
[3] Robert R. Phenix Jr. and Cornelia B. Horn, Christoph Luxenberg (ps.) “Die syro-aramaeische Lesart des Koran; Ein Beitrag zur Entschüsslung der Qur’ansprache.” Hugoye: Journal of Syiriac Studies, 3. Dikutip dari http://syrcom.cua.edu/Hugoye/Vol6No1/HV6N1PRPhenixhorn.html
[4] Dikutip dari Syamsuddin Arif, “Al-Qur’an, Orientalisme dan Luxenberg,” al-Insan 1 (2005), 19.
[5] Richard N. Soulen and R. Kendal Soulen, Handbook of Biblical Criticism (London: Westminster John Knox Press, 2001), 105; 178-79. Lihat aplikasi kritik sastra terhadap Bibel dalam C. Houtman, ‘The Pentateuch,” dalam The World of the Old Testament: Bible Handbook, ed. A. S. Vand Der Woulde (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1989), 2:170-71, selanjutnya disingkat The Pentateuch.

[6] Allen P. Ross, “Genesis,” dalam The Bible Knowledge Commentary: An Exposition of the Scriptures by Dallas Seminary Faculty, editor John F Walvoord dan Roy B. Zuck (Sp Publications, Inc., 1985), 15-16.
[7] Harald Motzki, “The Collection of the Qur’an: A Reconsideration of Western Views in Light of Recent Methodological Developments,” Der Islam 78 (2001), 11.
[8] Dikutip dari Issa J. Boullata, “Book Reviews: Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation,” Muslim World 67 (1977), 306-07.
[9]Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, 156. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sejarah perkembangan textual criticism di dalam Perjanjian Baru, lihat juga juga karyanya yang lain seperti A Textual Commentary on the Greek New Testament (United Bible Societies’, 1975), dan The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance (Oxford; Oxford University Press: 1975).
[10] Pemaparan lebih mendalam mengenai karya Nöldeke tersebut, lihat karya penulis Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 49-50.
[11] Arthur Jeffery, The Qur’an as Scripture (New York: Russell F. Moore Companya, 1952), 89-90, selanjutnya disingkat Scripture.
[12] Arthur Jeffery, “The Qur’an as Scripture,” Moslem World 40 (1950), 41.
[13] Arthur Jeffery menyatakan: “It was the community which decided this matter of what was and what was not Scripture. It was the community which selected and gathered together for its own use those writings in which it felt that it heard the authentic voice of religious authority valid for its peculiar religious experience.” Lihat Arthur Jeffery, “The Qur’an as Scripture,” Moslem World 40 (1950), 43.
[14] Arthur Jeffery, Scripture, 94-95.
[15]Muhammad sebagai penyampai al-Qur’an untuk orang ‘yang buta huruf’ bukan untuk ditulis di atas kertas. Dikutip dari Daniel A. Madigan, The Qur’an’s Self-Image: Writing and Authority in Islam’s Scripture (New Jersey: Princeton University Press, 2001), 18, selanjutnya diringkas The Qur’an’s Self-Image.
[16] Muhammad lebih suka para muridnya menghapal materi wahyu tersebut. Lihat Hartwig Hirschfeld, New Researches into the Composition and Exegesis of the Qoran (London: Royal Asiatic Society, 1902), 5.
[17] Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’ans, (Leiden: E. J. Birll, 1937), 5-6, selanjutnya diringkas Materials.
[18] Dikutip dari Daniel A. Madigan, The Qur’an’s Self-Image, 21.
[19] Ibid., 8
[20] Harald Motzki, “The Collection of the Qur’an: A Reconstruction of Western Views in Light of Recent Methodological Developments,” DerIslam 78 (2001), 7.
[21] Arthur Jeffery, Scripture, 94.
[22] Ibid.
[23] Jeffery memberi catatan bahwa mungkin yang dimaksud bukan Miqdad tetapi Mu‘az ibn Jabal. Hal ini sudah diungkapkan oleh Bergsträsser. Lihat catatan kaki Materials, 374.
[24] W. M. Watt & Richard Bell, Introduction to the Qur’an (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970), 40-42. Bell menyimpulkan ÍadÊtÍ mengenai al-Qur’Én dihimpun pada masa kekhalifahan AbË Bakr dielaborasi hanya untuk menghindari supaya ‘himpunan’ al-Qur’Én yang pertama kali bukanlah fakta yang muncul belakangan.
[25] Menurut Blachère, Abu Bakr dan ‘Umar menyuruh Zayd menghimpun al-Qur’an karena perasaan inferior dibanding para sahabat lain yang telah terlebih dahulu memiliki muÎÍaf. Dikutip dari ‘Abdu Sabur Shahin, Tarikh al-Qur’an (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), 108-09.
[26] Ia berpendapat motivasi yang mendorong Abu Bakr dan ‘Umar adalah perasaan rendah diri (murakkab naqÎ), dan karena ‘Umar memberikan muÎÍaf tersebut kepada anaknya, maka muÎÍaf tersebut adalah harta pribadi (maliyah shakÎiyyah). Dikutip dari, ‘Abdu Sabur Shahin, Tarikh al-Qur’an, 109.
[27]Arthur Jeffery, Materials, 14.
[28] Jeffery menyatakan: “It is possible, as we have already seen, that in choosing the Medinan text tradition for canonization ‘‘UthmÉn chose the best of the text available. We can never know this for certain the one way or the other unless the unexpected happens and we recover some considerable portion of one of the rival texts. A collection of the variants still surviving from the old codices is our sole means of forming any judgment as to the type of text they presented.” Arthur Jeffery, Materials, 15.
[29] Ibid., 20-21.
[30] Lihat Arthur Jeffery, “A Variant Text of the Fatiha”, Moslem World 29 (1939), 158.
[31] Ibid., 116.
[32] Arthur Jeffery, Materials, 7-8.
[33]Arthur Jeffery, Scripture, 99.
[34] Imam Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, Kitab al-Majruhin min al-Muhaddithin wa al-DuÑafa’ wa al-Matrukin, editor Mahmud Ibrahim Zayid (Halb/Aleppo: Dar al-WaÑy, 1396 H), 1: 21-23.
[35] Dikutip dari Jalal al-Din al-SuyutÏi, al-Itqan fÊ Ñulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 2003), 854.
[36] Ibid., 854-55.
[37] Surah al-Haqqah (69: 44-46).
[38] Surah al-Najm (53: 3-4).
[39] Lihat juga firman Allah dalam surah-surah lain, seperti: Surah Fussilat (41: 42); al-Shu‘ara’ (26: 192); al-Sajdah (32: 2); al-Zumar (39: 1); al-Mu’min (40: 2); Fussilat (41: 2); al-Jathiyah (45: 2); al-Ahqaf (46: 20) al-Waqi‘ah (56: 80); al-Haqqah (69: 43).

MENGENAL TURAST ISLAM

UPAYA MENGGALI HARTA KARUN PERADABAN *

DR. Ahmad Zain An Najah, MA**

I. MUQADDIMAH

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt, Kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepadaNya. Kami berlindung kepada Allah swt dari kejahatan diri kami, dan kejelekan perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, sebaliknya barang siapa yang disesatkan oleh Allah swt, maka tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepadanya.
Aku bersaksi tidak ada Ilah – yang berhak diibadahi dengan benar- kecuali Allah swt, tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad saw adalah hamba dan utusan-Nya.
Selanjutnya kita sebagai umat Islam, selayaknya bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah swt kepada kita, terutama nikmat Islam, karena tanpa nikmat tersebut, tentunya kita termasuk dalam golongan orang-orang yang sesat. Nikmat Islam ini harus kita jaga secara terus-menerus, salah satunya dengan selalu mempelajari ajaran-ajaran yang ada di dalamnya, kemudian melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mempelajari dan mengenal ajaran-ajaran Islam secara lebih mendalam, kita dituntut untuk mengetahui apa yang telah ditulis oleh para ulama terdahulu. Peninggalan para ulama yang berbentuk buku tersebut sangat berharga nilainya, dia bagaikan harta karun peradaban yang begitu banyak, dia bagaikan lautan yang tidak bertepi. Sungguh sangat bodoh dan merugi sebuah umat yang tidak mengenal peninggalan para leluhurnya.
Maka, pada kesempatan kali ini, marilah bersama-sama, walau secara sekilas, untuk mempelajari karya-karya para ulama tersebut, yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai " Turast " . Apa sebenarnya pengertian turast itu ? Apakah istilah tersebut terdapat dalam Al Qur'an dan Sunnah ? Apakah setiap yang ditulis oleh seorang muslim bisa disebut turast Islam ? Bagaimana sikap kita terhadap turast tersebut ? Berapa besar peran turast Islam tersebut dalam menumbuhkan kebangkitan Islam ? Bagaimana sikap Barat terhadap turast Islam ? Dan usaha-usaha apa saja yang mereka lakukan untuk menjauhkan turast Islam dari kaum muslimin ? Bagaimana trik-trik untuk memahami dan menguasai turast Islam ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan kita temukan jawabannya secara gamblang dalam tulisan di bawah ini. Tentunya masih banyak kekurangan di dalamnya, mudah-mudahan kedepan bisa dilengkapi. Dan yang sedikit ini semoga bisa bermanfaat, paling tidak memberikan gambaran secara umum tentang turast.


II. TURAST DALAM AL QUR'AN

Turast secara bahasa diambil dari kata :
ورث – يرث – وراثة - تراثا - إرثا
Huruf " ta' " dari turats adalah pengganti huruf " wawu " , yang artinya adalah harta warisan, atau harta peninggalan orang tua yang telah meninggal dunia. [1]
Dan ini dikuatkan dengan apa yang tersebut di dalam Al Qur'an, yaitu firman Allah swt :
وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَّمًّا
" dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil " [2]

Makna ' turast' pada ayat di atas sebagaimana yang disebutkan oleh para mufasirun, tidak jauh berbeda dengan makna turast secara bahasa , yaitu harta warisan atau harta warisan anak yatim . [3]
Adapun maksud turats dalam pembahasan kita sebagaimana yang disebutkan oleh Prof. DR. Bakr Zaki 'Iwadh adalah :

" Apa yang ditinggalkan oleh orang-orang terdahulu kepada orang-orang sesudahnya baik dalam masalah agama, pemikiran, akhlak, perundang-undangan , adab , maupun kesenian dan lain-lainnya. " [4]

Kalau kita perhatikan pengertian turast yang disebutkan oleh Prof DR. Bakr di atas, kita dapatkan bahwa beliau tidak menyebutkan batasan waktu kapan suatu karya tersebut disebut turast. Memang belum ada kajian mendalam dalam masalah ini, walaupun beberapa kalangan menyebutkan bahwa suatu karya disebut turast jika sudah berumur 100 tahun atau lebih, sejak meninggalnya sang pemilik, atau sejak ditulisnya karya tersebut. Namun batasan seperti ini belum bisa diterima oleh sebagian kalangan, karena memang tidak ada dasarnya secara jelas. Maka, lebih baik kita kembalikan kepada arti turast secara bahasa, bahwa seluruh karya yang ditinggalkan oleh pemiliknya kepada orang sesudahnya disebut turats, walaupun baru berumur satu jam atau satu hari atau satu bulan dan seterusnya.

III. DIBALIK ISTILAH TURATS DAN MU'ASHIRAH

Pengertian Turast secara istilah, sebenarnya belum pernah dikenal oleh kaum muslimin sepanjang sejarah peradaban Islam., sehingga tulisan-tulisan orentalis Barat masuk pada peradaban Islam.
Turast menurut pemahaman Barat adalah hasil sebuah peradaban umat masa lampau, yang perlu ditinjau ulang menurut barometer keilmuan kontemporer. Pemahaman tersebut muncul akibat pertarungan antara gereja dan gerakan pembaharuan. Doktrin-doktrin gereja seringkali memasung perkembangan dan gerakan pembaharuan. Selain itu, ajaran-ajaran gereja terkesan lambat dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Sehingga, kaum pembaharu memberontak dan ingin lepas dari kungkungan doktrin-doktrin gereja. Mereka mengritik teks-teks Taurat dan Injil, yang nota benenya sudah banyak dimanipulasi oleh para pendeta dan pemimpin agama. Dengan pemahaman tersebut, Barat ingin menerapkannya pada seluruh turast yang merupakan peradaban umat manusia. Mereka menerapkan pemahaman tentang " turast " tersebut terhadap peradaban Yunani , Fir’aun, India dan Persia. Demikian pula, mereka melakukan hal yang sama, ketika berhadapan dengan apa yang mereka namakan " Turast Islam ".
Seperti yang kita ketahui, bahwa peradaban dan kebudayaan Islam serta ajaran-ajarannya sangatlah berbeda dengan doktrin-doktrin gereja maupun dengan peradaban umat-umat lainnya. Maka, sangatlah tidak tepat jika kita memperlakukan " Turast Islam " dengan menggunakan metodologi yang diadobsi dari ajaran-ajaran agama lain. Selain itu, Barat telah membentuk konspirasi terselubung untuk menghancurkan Islam dari dalam, yaitu dengan memisahkan peninggalan Islam masa lalu dengan generasi masa kini, untuk kemudian digantikannya dengan kebudayaan Barat. Hal ini mereka lakukan, karena mereka mengetahui bahwa " Turast Islam " , merupakan dokumentasi sejarah yang bisa dijadikan panduan umat Islam untuk membangun peradabannya yang baru, karena turast tersebut terkait erat dengan wahyu langit yaitu, Al Qur'an dan Hadits.
Yang perlu diperhatikan juga, bahwa sebenarnya Barat ketika mengusung istilah turast, maka yang dimaksud adalah Islam, sedang yang dimaksud dengan istilah kontemporer dan modern, adalah kebudayaan Barat. Maka, kemudian kita sering mendengar pernyataan – pernyataan bahwa Islam identik dengan turast, yang selalu dikesankan sebagai sesuatu yang serba terbelakang dan jumud. Sebaliknya yang Modern adalah seluruh apa yang datang dari Barat. Salah satu latar belakang pengusungan istilah " Turats dan Mu'ashirah " adalah apa yang ditulis oleh Anwar Jundi :

" Sering orang menyebut kata : turats dan kontemporer , tanpa mengetahui bahwa sesungguhnya mereka telah terjebak dalam perangkap besar yang telah dipersiapkan oleh para pengusung pemikiran Barat, sedang merekapun belum sepakat dengan arti dari kata turast dan kontemporer …"

Selanjutnya beliau menulis :

" ..Dan kaum sekuler materialis yang berwala' kepada pemikiran yang diambil dari otak Barat , mereka tidak bisa memahami Islam, kecuali melalui pikiran orang-orang Barat Yunani dan Kristen , mereka berusaha untuk menyembunyikan kedengkiannya dibalik slogan-slogan yang menipu. Seandainya saja mereka mau berterus terang, maka mereka akan mengatakan bahwa Islam adalah pengganti dari kata " kuno" dan " turast" . Dan setelah itu mereka akan mengecapnya dengan terbelakang dan jumud. Akan tetapi mereka takut berhadapan langsung ( dengan umat Islam ) , maka mereka mencari jalan dengan cara mengelabuhi dan menipu." [5]

Dan amat disayangkan, jika sebagian kaum intelektual muslim terpengaruh dengan pemahaman Barat terhadap istilah-istilah tersebut. Sehingga akan kita dapatkan sebagian dari intelektual tersebut selalu saja mengajak umat Islam untuk meninggalkan ajaran-ajaran yang telah baku dan telah diterapkan berabad-abad lamanya, seperti ajakan untuk meninggalkan penegakkan Syari'at, karena hukum-hukum Syari'at Islam sudah usang dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman, seperti hukum rajam bagi para pezina yang sudah muhshon, atau hukum potong tangan bagi pencuri,dan lain- lainnya. Bahkan sebagian dari mereka mengajak umat Islam untuk membakar dan membumi hanguskan buku-buku turast, seperti buku-buku tafsir, buku-buku hadist dan lain-lainnya. Menurut mereka, buku-buku tersebut sudah bias gender, dan ditulis dengan metodologi kuno, maka harus diganti dengan tafsir modern, yang kemudian dikenal dengan" hermeunetika".
Penyebaran istilah " Turast " dan " Mu'ashirah " yang diusung oleh Barat mempunyai beberapa target yang ingin mereka capai, diantaranya adalah :
Menghidupkan kembali pemikian Mu'tazilah dan Paham Kebatinan sesuai dengan apa yang telah ditulis orang-orang tertentu ( menurut penilaian Barat )
Menulis ulang sejarah Islam dengan pena-pena yang berlumuran racun, seperti apa yang telah ditulis oleh Abdurahman As Syarqawi dalam bukunya Sirah Imam Ali .
Menafsirkan Sejarah Islam dengan penafsiran materialistik.
Penafsiran sejarah secara materialistik adalah penulisan sejarah berdasarkan kejadian-kejadian dhohir ( yang nampak saja ), tanpa melihat faktor-faktor psikologis dan idiologis ( aqidah ), sehingga teori penulisan ini tidak pernah menyentuh dan menyinggung tentang kekuasaan dan peran Allah dalam setiap kejadian sepanjang sejarah manusia. Adapun penafsiran sejarah secara Islami adalah penulisan sejarah dengan melibatkan unsur-unsur idiologis, penulisan sejarah dengan melihat kehidupan manusia secara keseluruhan dengan barometer yang telah ditetapkan dalam Al Qur'an dan Sunnah .[6] Atau dengan kata lain bahwa kehancuran sebuah umat – menurut Penafsiran Sejarah secara Islami - adalah akibat menyeleweng dari ajaran Allah, sebaliknya kemajuan dan kebangkitan adalah akibat berpegang teguh dengan ajaran Allah.
Memaksakan penafsiran para orientalis ke dalam pemikiran Islam.
Menyerang tokoh-tokoh Islam yang menghiasi sejarah pemikiran Islam.[7]
Salah satu contohnya adalah apa yang ditulis oleh Gold Ziher, salah satu tokoh orientalis yang sering menyudutkan Islam, dalam bukunya " Dirasat Islamiyah " , dia menyerang habis-habisan salah seorang ulama hadist yang tsiqah dan menjadi sandaran para ahli hadist sesudahnya, yaitu Imam Zuhri, yang kemudian tulisan ini dikutip secara letter ligh oleh seorang alumnus Al Azhar yang sempat belajar di Jerman selama empat tahun, yaiatu DR. Ali Hasan Abdul Qadir, di dalam bukunya : " Nadhratun 'Ammah fi Tarikh Al Fiqh Al Islami. " [8]
Hal yang sama dilakukan oleh Mahmud Abu Rayah pada tahun 1377 H/ 1958 M, ketika menyerang habis-habisan seorang sahabat " Abu Hurairah " r.a, di dalam bukunya : Adhwa' 'ala As Sunnah An Nabawiyah " yang sebenarnya dia nukil secara letter ligh dari tulisan Gold Ziher juga. [9]

IV. APA YANG DIMAKSUD DENGAN TURAST ISLAM ?

Para ulama kontemporer masih berselisih pendapat di dalam mendefinisikan " Turast Islam ", paling tidak ada tiga pendapat yang bisa kita ketengahkan dalam pembahasan ini :
Pendapat Pertama : Turast Islam adalah apa yang dihasilkan oleh akal muslim dalam rangka menerangkan atau membela ajaran-ajaran Islam. Pendapat ini dipilih oleh DR. Muhammad Al Bahi - rahimahullah - . [10]
Pendapat Kedua : Turast Islam adalah adalah apa yang dihasilkan oleh akal manusia, baik dia seorang muslim atau non muslim, yang sesuai dengan Al Qur'an dan Sunnah.
Pendapat Ketiga : Turast Islam adalah apa yang dihasilkan oleh akal muslim sepanjang sejarah Islam, baik yang berhubungan dengan ilmu agama atau bukan, baik yang isinya sesuai dengan kebenaran atau tidak. Pendapat ini yang dipilih oleh Prof. DR. Bakr Zaki 'Iwad . [11]
Kalau kita perhatikan dari tiga pendapat di atas, maka pendapat ketiga adalah pendapat yang lebih mendekati kebenaran, karena beberapa hal :
1/ Pendapat pertama terlalu sempit dan akan membuang banyak hasil karya orang-orang Islam yang tujuan mereka berkarya sebenarnya bukan untuk menerangkan atau membela Islam, akan tetapi lebih dari sekedar menuliskan atau menorehkan hasilkan karya mereka, seperti ilmu-ilmu pengetahuan yang ditulis para tokoh Islam dalam bidang kedokteran, fisika, biologi, matematika, pembuatan obat-obatan, ilmu bangunan, dan lain-lain.
2/ Pendapat ketiga terlalu melebar sehingga tulisan-tulisan orientalis dan orang-orang Barat-pun dimasukkan ke dalam bagian dari " Turast Islam " dan ini kurang tepat.
3/ Maka Pendapat ketiga adalah pendapat pertengahan yang memasukkan seluruh hasil karya orang muslim, dan tidak membatasinya pada ilmu-ilmu agama saja. Kemudian dalam satu waktu juga membuang karya – karya orientalis dan orang-orang Barat dari katagori turast Islam.

V. PERKEMBANGAN TURAST ISLAM

Turast Islam secara umum merupakan serangkaian kebudayaan dan peradaban serta pemahaman-pemahamaan terhadap ajaran Islam yang pada hakekatnya merupakan agama Islam itu sendiri. Oleh karenanya, Allah telah memplokamirkan diri untuk selalu menjaganya, sebagaimana firman Allah swt yang tersebut dalam Surat Al Hijr, ayat 9 :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya

Sebagai bukti kebenaran ayat di atas, kita dapatkan turast Islam masih terjaga dengan baik sejak ditulisnya Al Qur'an dan Sunnah di dalam buku, beserta ilmu-ilmu pendukungnya hinga sekarang. Tetapi, bukan berarti turast Islam tersebut selama empat abad penuh , tersimpan rapi di lemari-lemari dan rak-rak yang tersusun dalam ruangan tanpa adanya tangan- tangan jahil yang mengganggunya dan berusaha melenyapkannya. Runtuhnya kota Baghdad di tangan pasukan Tatar, tentunya sudah cukup untuk bisa menghancurkan peradaban Islam secara keseluruhan, apalagi ditambah dengan kerusakan dan kerugian umat Islam pada masa-masa perang Salib, serta pembantaian Umat Islam secara besar-besaran di " Mahkamah Taftisy " oleh tentara Salib, sebagaimana yang terjadi di Andalus. Allah swt telah menjaganya, sehinga kepunahan tersebut bisa terhindar dan tidak terjadi. Bahkan, sampai sekarangpun masih banyak turast Islam yang masih berbentuk " Makhtuthot " ( Manuskrip ) dan belum terjamah oleh tangan-tangan manusia pada abad ini, dan sebagaiannya walaupun sudah didokumentasikan secara rapi, namun belum sempat dibaca.
Sebelum mengenal percetakan, umat islam menggandakan buku-buku turast dengan cara menyalinnya lewat tulisan tangan. Kemudian [pada tahun 1551 M, umat islam mulai mengenal percetakan, tepatnya diwilayah Turki, kemudian 1610 Masehi menyusul libanon dan terus berkembang kekota-kota Islam lainnya,. Tapi sayang, percetakan-percetakan tersebut masih ada unsure kristennya, sehingga belum digunakan untuk mencetak buku-buku islam. Pada tahun 1821 M, berdirilah percetakan “bulaq” atau yang lebih dikenal dengan percetakan “ al-amiriyyah’ di Kairo, Mesir. Percetakan tersebut, merupakan percetakan pertama yang mencetak buku-buku islam pada seluruh bidang ilmu pengetahuan, terutama bidang tafsir, hadits, fiqih, bahasa Arab, sejarah, kedokteran dan lain-lainnya.
Banyak para ulama yang telah berjasa di dalam mengeluarkan Turats tersebut pertama kalinya dalam bentuk cetak. Sebelum digandakan dengan mesin cetak, mereka para ulama meniti kembali tulisan-tulisan yang salah a\taupun menjelaskan hal-hal yang perlu dijelaska, sehingga buku-buku hasil percetakan pada waktu itu, jarang sekali ditemui kesalahan dalam tulisan, berbeda dengan hasil percetakan hari ini, yang orientasinya hanya kepada bisnis an sich. Selain itu, percetakan pada waktu itu sangt antusias untuk menyebarkan buku-buku turats kepada kaum muslimin, sehinmgga kita dapatkan dalam satu jilid terdapat dua atau tiga buku sekaligus dalam bentuk “Hamisy”(catatan pinggir) dan “Hasyiah”(catatan kaki), sebuah pemandangan yang sulit ditemukan pada cetakan kontemporer.
Adapun para ulam yang berkhidmat terhadap buku-buku turast tersebut dikenal dengan “suyukh al-muhaqqiqin”. Diantara mereka sampai hari ini masih dikenang oleh para penuntut ilmu, mereka adalah syekh Muhibuddin Al-Khotib, Muhammad Amin al Khonji, syeikh Muhammad Hamid Al-Faqhi (pendiri Jami’ah Anshor Sunnah) syekh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Syekh Ahmad Muhammad Syakir (Qhodi pada mahkamah Syariyyah ), Syeikh Mahmud Muhammad Syakir, Ustadz Abdussalam Muhammad Harun dll.

VI. SIKAP KITA TERHADAP TURAST

Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa turast adalah peninggalan sejarah nenek moyang kita, sedangkan turast Islam adalah produk akal orang-orang muslim sebelum kita. Sehingga, bisa kita simpulkan bahwa turast merupakan salah satu produk budaya manusia. Dan setiap produk budaya manusia pasti diliputi dan diiringi kekurangan dan kelemahan, maka dalam Turast Islam, kita akan menemukan juga kekeliruan dan kekurangan.
Dalam menyikapi turats , manusia dibagi menjadi tiga kelompok :
I . Kelompok Pertama :
Adalah orang- orang yang terlalu mengagungkan turast. Kelompok ini menganggap bahwa turast identik dengan wahyu, tidak ada salah dan celahnya, atau paling tidak mereka tidak bisa kritis terhadap karya-karya ulama-ulama masa lalu. Kelompok ini sekedar mengikuti apa yang disampaikan oleh ulama-ulama sebelumnya, tanpa mampu mengembangkan karya-karya tersebut sama sekali. Dalam hal ini DR. Yusuf Qardhawi berkata :

" Sebagian kelompok manusia masih punya keyakinan bahwa para ulama terdahulu, tidak mungkin berbuat salah, atau melakukan bid'ah dan maksiat, khususnya mereka yang mempunyai dedikasi yang tinggi dalam ilmu dan akhlaq, baik secara pribadi maupun kelompok. Mereka juga masih menyakini bahwa seorang ahli fiqh tidak mungkin menggunakan hadist yang tidak shohih dalam berdalil, atau menyakini bahwa seorang ahli ilmu kalam tidak mungkin terjerat di dalam menakwilkan sesuatu yang sangat jauh, atau menyakini bahwa seorang ahli hadist tidak mungkin mengistinbatkan suatu hukum yang tidak bisa diterima oleh kalangan lain, atau menyakini bahwa seorang sufi tidak mungkin beribadah dengan sesuatu yang tidak ada dasarnya dalam Syariat." [12]

Kelompok ini cenderung untuk bertaklid buta, dan terlalu berlebih-lebihan di dalam menghormati ulama-ulama sehingga daya kritisnya hilang dan dan tumpul. Sikap kelompok ini, walaupun dalam satu sisi sangat baik, karena menghormati para pewaris nabi, namun dari sisi lain, sikap seperti ini tidak dibenarkan oleh Islam. Disana terdapat beberapa ayat Al Qur'an yang melarang seseorang untuk mengikuti sesuatu yang tidak tahu akan ilmunya, diantara ayat-ayat tersebut adalah :

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
" Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. " .[13]

Allah swt memberikan perumpamaan orang yang taqlid kepada turast nenek moyang seperti orang yang suka menjilat tanah :

وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَـكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ذَّلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
" Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. " [14]

Jika turast nenek moyang itu dikritik karena ada beberapa kesalahan , mereka hanya bisa menjawab :
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ قَالُوا وَجَدْنَا آبَاءنَا لَهَا عَابِدِينَ
" (Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?" Mereka menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya." [15]

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ
" Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?." [16]

Orang-orang Nasrani menjadi sesat karena mengikuti apa yang dikatakan para pendeta mereka tanpa ada daya kritis sedikitpun :

اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
" Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. " [17]

Kaum Nabi Nuh menjadi sesat dan syririk karena terlalu mengkultaskan turats nenek moyang mereka :
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا ضَلَالًا
" Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr ". [18]


Berkata Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat di atas :

" Mereka itu ( Wadd, Suwwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr ) adalah nama-nama orang sholeh dari kaum Nuh, ketika mereka mati, syetan membisikan kepada murid-muridnya agar dibuat patung dan diletakkan di ruang-ruang pertemuan mereka dan ditulis sesuai dengan nama-nama mereka. Pada awalnya murid-murid tersebut tidak menyembah patung-patung tersebut. Akan tetapi ketika murid-murid tersebut sudah meninggal, dan ketika ilmu sudah dilupakan, akhirnya anak keturunan mereka menyembah patung-patung tersebut. " [19]

Kelompok ini diwakili oleh orang orang awam yang tidak mengerti tentang ilmu agama , akan tetapi mempunyai semangat untuk menghormati para ulama. Diantara fenomena-fenomena yang bisa dilihat akibat sikap tersebut adalah semaraknya ritual ziarah kubur ke makam-makam dan peninggalan-peninggalan para ulama dan para wali, yang lebih ironisnya lagi mereka bukan sekedar berziarah akan tetapi melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syari'at, seperti towaf mengelilingi kuburan-kuburan orang sholeh, meminta barakah dari mereka dan sebagainya. Begitu juga para pedagang buku yang ikut mendukung khurafat – khurafat tersebut. Mereka mencetak dan menyebarkan buku-buku turast yang kadang tidak ilmiyah sama sekali. Buku-buku tersebut hanya berisi cerita-cerita ghoib yang aneh-aneh, atau terlalu mendetail dalam masalah-masalah hati yang tidak ada dasarnya sama sekali, seperti buku : Mukasyafatul Qulub al Muqarrib min 'Allamul Ghuub, yang dinisbatkan kepada Imam Ghozali, atau cerita para nabi-nabi yang dipenuhi dengan khurafat seperti dalam buku Araisy Al Majalis , yang dinisbatkan kepada Ats Tsa'labi, atau buku Quut Al Qulub, karya Abu Tholib Al Makki, atau buku Roudh Ar Riyahin , atau apa-apa yang ditulis Ibnu Arabi dan Sya'rani, dan lain-lainnya. [20]
Diantara fenomena – fenomena pengkultusan turast yang lain adalah : kefanatikan terhadap seorang ulama. Kefanitakan terhadap seseorang membuat seseorang buta dan hilang daya kritisnya. Sebagaimana yang disebutkan dalam suatu pepatah : " Kecintaan anda kepada seseorang membuat anda bisu dan buta . "
Dibawah ini beberapa sikap berlebih-lebihan kepada seseorang sehingga membuatnya tidak bisa kritis :
- Salah seorang pengikut Imam Ahmad mengatakan : " Melihat wajah Imam Ahmad bin Hambal sebanding dengan ibadah satu tahun. "
- Sebagian ada yang berkata : " Kami masyarakat di Khurasan menganggap Imam Ahmad tidak seperti manusia, tetapi seperti malaikat. "
- Berkata Syekh Sulaiman bin Yusuf bin Muflih, salah seorang ulama besar Madzhab Syafi'I : " Dahulu ketika saya mendengar seseorang mengatakan : ( Imam Nawawi telah berbuat salah) , saya menganggap bahwa orang tersebut telah kafir . " [21]
Dalam menanggapi fenomena pengkultusan ulama di atas, Syekh Islam Ibnu Taimiyah menulis :
" Tidak dibolehkan bagi seorangpun mengangkat seorang syekh, kemudian memberikan loyalitas kepada yang mengikutinya dan memusuhi orang yang tidak mengikutinya. Akan tetapi yang seharusnya dikerjakan adalah memberikan loyalitas kepada semua orang yang beriman, dan orang-orang yang bertaqwa, baik mereka sebagai syekh maupun tidak. Dan tidak diperkenankan memberikan loyalitas lebih kecuali kepada orang yang memang taqwa dan imannya lebih besar dari yang lainnya. Hendaknya dia mendahulukan siapa yang didahulukan Allah dan rosul-Nya dan mengutamakan siapa yang diutamakan oleh Allah dan Rosul-Nya . " [22]

Kelompok Kedua :
Mereka adalah orang-orang yang sangat meremehkan Turast Islam, bahkan ingin menghilangkan sama sekali dari muka bumi ini, dengan cara membakarnya atau merubahnya atau paling tidak membuangnya ke dalam tong-tong sampah, karena menurut anggapan mereka bahwa buku-buku turast tersebut sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.
Kelompok ini diwakili oleh tokoh-tokoh Barat, para orientalis, serta orang-orang Islam yang bermadzhab sekuler dan liberal. Mereka adalah orang-orang yang sombong dan takabbur. Mereka merasa bahwa ilmu yang mereka miliki selama ini sudah cukup dan sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga mereka tidak membutuhkan lagi turast yang ditinggalkan oleh para ulama selama berabad-abad tersebut. Orang-orang seperti ini mirip dengan apa yang disebutkan Allah swt dalam salah satu firman-Nya :

فَلَمَّا جَاءتْهُمْ رُسُلُهُم بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا بِمَا عِندَهُم مِّنَ الْعِلْمِ وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِؤُون.
Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa bangga dengan ilmu yang mereka miliki dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu. [23]

Para ulama adalah pewaris para nabi, maka karya-karya mereka sebenarnya adalah keterangan-keterangan apa yang telah dibawa para nabi. Walaupun keterangan-keterangan tersebut tidak maksum, dan masih dimungkinkan terjadinya kesalahan, akan tetapi paling tidak, kita sebagai umat Islam harus menghormatinya, karena dengan menghormati karya-karya mereka, berarti juga menghormati apa yang dibawa para nabi. Tanpa mereka, akan sangat sulit bagi kita untuk memahami apa yang di bawa oleh para nabi. Tetapi bagi orang-orang yang musyrik, kafir , atheis, maupun orang-orang sekuler dan liberal, karya-karya para ulama tersebut tidak ada arti dan nilainya. Mereka lebih bangga dan menghargai karya dan ilmu mereka sendiri. Mereka menganggap bahwa ilmu mereka mampu mengikuti perkembangan zaman dan sesuai dengan filsafat keilmuan modern, ilmu yang mendukung dan memperhatikan hak-hak asasi manusia, sedangkan karya para ulama adalah karya yang usang dan ketinggalan zaman serta bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Maka tak aneh, jika diantara mereka ada yang menyeru dan mengajak umat Islam utnuk membakar dan memusnahkan buku-buku ulama masa lampau seperti Fathul Bari [24] dan sejenisnya. Mereka sering melontarkan slogan :
هم رجال و نحن رجال
Maksudnya para ulama itu adalah tokoh-tokoh yang diakui keilmuan dan kredibilitasnya, maka kamipun bisa seperti itu, kenapa kita harus ikut mereka ?
Kelompok ini selalu secara terus-menerus menyerukan perombakan turast dalam segala bidang, bahkan mereka juga ingin merombak Al Qur'an dan Hadist, sampai –sampai seorang pakar hadist dari Mesir Syekh Muhammad Syakir berkata :
يريدون أن يجددوا كل شيء ، يريدون أن يجددوا الشمس والقمر والنجوم
Mereka ingin memperbaharui segala sesuatu, bahkan mereka ingin memperbaharui matahari, bulan dan bintang.

Kelompok Ketiga :
Adalah orang-orang yang menganggap bahwa turats adalah produk dan hasil budaya orang-orang pilihan, khususnya turast yang ditulis dengan tujuan menerangkan dan membela ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu, kelompok ini sangat menghormati turast , walaupun begitu, mereka tidak begitu saja menelan turats tersebut mentah- mentah atau menyejajarkannya dengan Al Qur'an dan Sunnah, tetapi tetap mempunyai daya kritis yang tinggi. Semua karya-karya tersebut mereka ukur dan timbang dengan timbangan Al Qur'an dan Sunnah, jika sesuai dengan keduanya, maka mereka menerimanya dengan senang hati, akan tetapi jika tidak, maka merekapun tidak segan-segan menolaknya, walaupun dengan bahasa yang halus dan sopan. Kelompok ketiga inilah kelompok Ahlu Sunah wal Jama'ah, kelompok yang selalu berpegang kepada " Wasitiyah " dalam ajaran-ajaran Islam. Mereka tidak terlalu berlebih-lebihan di dalam menghormati turats, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok pertama dan tidak pula terlalu meremehkan turast, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok kedua. Posisi mereka berada dipertengahan antara dua kelompok tersebut.
Kelompok ketiga ini mempunyai prinsip-prinsip tertentu yang berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah di dalam berinteraksi dengan turast Islam. Diantara prinsip-prinsip tersebut adalah : berbuat adil dan inshof di dalam mengritik turast, tidak boleh mengritik Al Qur'an dan Sunnah karena keduanya adalah wahyu dan bukan turast, tidak setiap yang dinisbatkan kepada turats pasti benar adanya. Prinsip-prinsip tersebut akan di bahas secara lebih terperinci dalam pembahasan berikutnya.

VII . KAIDAH-KAIDAH DALAM BERINTERAKSI DENGAN TURAST
Para ulama telah meletakkan beberapa kaidah dalam berinteraksi dengan Turast Islam, diantara kaidah- kaidah tersebut adalah :
A/ Al Qur'an dan Hadist bukan bagian dari Turast.
Sebagaimana diterangkan di atas bahwa turast adalah produk dan hasil budaya manusia, yang tidak bisa lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Dengan demikian, Al Qur'an dan Hadist bukanlah bagian dari turast, karena keduanya adalah wahyu dari Allah swt, sehingga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan, dan pasti benar adanya. Maka sangatlah salah sebagian orang yang beranggapan bahwa Al Qur'an dan Hadist harus dikritisi juga.
Untuk mengetahui usaha-usaha para orientalis dan antek-anteknya di dalam mengkritisi Al Qur'an, sekaligus bantahannya, bisa dirujuk buku-buku di bawah ini :
- Al Madkhol li Dirasat Al Qur'an Al Karim, karya Prof. DR. Syekh Muhammad Abu Syahbah ( Kairo, Maktabah As Sunnah, 1423/2003 ) Cet Ke – 3 Hal. 283-307 dan 360-379
- Maza'im Al Musytasyriqin haul Al Qur'an Al Karim, Karya Prof. DR. Muhammad Mahir Ali.
- Al I'lam bi Naqdhi maa jaa fi kitab Maqalatu fi Al Islam, karya DR. Ali Ali Ali Syahin ( Kairo : Dar Tiba'ah Al Muhammadiyah, 1418/ 1998 ) Cet ke 1

B/ Berbuat Adil dan Inshof di dalam mengkritik Turast.
Berbuat adil dalam segala hal, adalah perbuatan yang diperintahkan oleh syari'at Islam dan merupakan ruh dari ajaran Islam itu sendiri. Berbuat adil adalah bagian dari sifat " Al Wasthiyah " ( pertengahan ) yang selalu berada di tengah-tengah antara sifat " Ifroth " ( berlebih-lebihan ) dan " Tafrith " ( sangat kurang ). Allah swt sendiri memerintahkan kaum muslimin untuk selalu berbuat adil :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاء لِلّهِ وَلَوْ عَلَى أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu [25]

Allah juga berfirman :

يَا أَيُّهَآ الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[26]

Salah satu contoh sikap inshof dan adil dari para ulama masa lalu dalam menyikapi turats adalah apa yang pernah disampaikan oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyah, ketika beliau berbicara tentang masalah sufi dan tasawuf yang pada waktu itu, bahkan sampai sekarang masih hangat dibicarakan orang, beliau berkata :

" Sebagian kelompok sangat mengecam sufi dan tasawuf, mereka mengatakan : kelompok sufi adalah orang-orang ahli bid'ah dan keluar dari sunnah, kata-kata seperti ini dinukil dari sebagian ahli fiqh dan kalam. Dan sebaliknya, sebagian yang lain sangat fanatik terhadap mereka ( sufi dan sufiyah ) , mereka menganggapnya sebaik-baik makhluk, dan yang paling sempurna sesudah para nabi. Kedua kelompok tersebut sama-sama kurang bagus dalam menyikapi masalah ini.
Adapun sikap yang benar adalah : bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berijtihad dan sungguh-sungguh dalam menjalani ketaatan kepada Allah swt, sebagaimana kelompok lain juga berijtihad seperti itu. Maka diantara mereka ada yang benar-benar dekat dengan Allah swt sesuai dengan kesungguhannya. Sebagian yang lain berada dalam pertengahan dan tergolongan golongan kanan. Masing-masing dari keduanya sudah bersungguh-sungguh dan kadang kala berbuat salah, dan sebagian yang lain juga pernah berbuat dosa dan bertaubat, tetapi ada pula yang tidak bertaubat.
Sebagian kelompok yang mengaku bagian dari kaum sufi terdapat golongan yang " mendholimi dirinya sendiri " , mereka bermaksiat kepada Allah swt.
Ada juga sebagian ahli bid'ah dan orang-orang zindiq yang mengaku sebagai golongan orang-orang sufi, akan tetapi menurut kalangan muhaqiqin dari tokoh sufi, mereka sebenarnya bukanlah dari kaum sufi , seperti Al Hallaj. Sesunggunhnya para tokoh sufi , seperti Al Junaid bin Muhammad sebagai pembesar kelompok dan lainnya juga telah mengingkari ( orang seperti Al Hallaj ), sebagaimana yang telah disebutkan oleh Syekh Abu Abdurrahman As Sulami di dalam bukunya " Tobaqat Sufiyah " , dan disebutkan juga oleh Al Hafidh Abu Bakar Al Khotib di dalam bukunya " Tarikh Baghdad . Inilah sebenarnya dasar dari tasawuf, kemudian setelah itu terpecah-pecahlah mereka, sehingga menjadi tiga kelompok , yaitu : " Sufiyah Haqaiq " , kemudian " Sufiyah Al Arzaq " , dan " Sufiyah Ar Rosm " . [27]

Setelah itu Syekh Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan masing-masing dari tiga kelompok kaum sufi tersebut, secara panjang lebar. Penjelasan Ibnu Taimiyah tentang masalah sufi dan tasawuf di atas adalah penjelasan yang adil dan jujur, karena menyebutkan apa adanya dalam dunia tasawuf, tentunya menurut apa yan diketahui oleh Ibnu Taimiyah pada waktu itu. Hal senada juga dilakukan oleh Imam Syatibi ketika menyikapi masalah sufi dan tasawuf sebagaimana yang telah diterangkan dalam bukunya " Al I'tishom " . [28]
Namun sebagai sikap adil dan jujur juga terhadap masalah tasawuf dan juga terhadap apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyah di atas, yang dalam hal ini, kedua-duanya bagi kita adalah bagian dari turast, maka kitapun tidak menerima mentah-mentah apa yang disampaikan Ibnu Taimiyah tersebut, karena keadaan dan perkembangan tasawuf pada waktu itu tentu lain dengan keadaan dan tasawuf pada zaman sekarang, khususnya yang ada di Negara Indonesia.

C. Tidak setiap yang dinisbatkan kepada Turast pasti benar adanya.
Sering kita mendengar bahwa seorang ulama mempunyai pendapat tertentu dalam suatu masalah yang diperselisihkan, tetapi kalau kita teliti ternyata pendapat tersebut kadang tidak benar. Berikut ini beberapa contoh bahwa tidak setiap yang dinukil dari ulama dalam berbagai buku turast benar adanya :

1. Diriwayatkan dari Daud Imam Madzhab Dhohir bahwa siwak hukumnya wajib, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syekh Abu Hamid dan sebagian besar ulama Syafi'iyah. Pernyataan ini dinukil Imam Nawawi di dalam bukunya " Al - Majmu' ". [29]
Akan tetapi setelah diteliti di dalam buku " Al Muhalla " karya Ibnu Hazm yang merupakan buku pegangan madzhab Adh Dhohiri, maka didapatkan bahwa Imam Daud tidak mengatakan bahwa siwak wajib, akan tetapi beliau mengatakan bahwa siwak hukumnya sunnah, sebagaimana yang dianut oleh mayoritas ulama. [30]

2. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khottab r.a dan Utsman bin Affan r.a , melarang kaum muslimin untuk melaksanakan haji tammatu' . Akan tetapi setelah diteliti, ternyata mereka berdua tidak bermaksud mengharamkan haji tammatu', tetapi maksud pelarangan tersebut adalah :
a. Mereka berdua menyakini bahwa haji ifrad adalah bentuk haji yang paling afdhol, sehingga mereka mengajak masyarakat untuk memilih haji ifrad dari pada haji tammatu'
b. Mereka melarang haji tammatu' yang pernah dilakukan para sahabat pada waktu itu, yaitu merubah haji menjadi umrah sebelum thowaf, karena hal itu hanya boleh dikerjakan oleh para sahabat waktu itu saja. Jadi mereka berdua tidak melarang haji tammatu' yang dikerjakan oleh mayoritas jama'ah haji Indonesia sekarang. [31]
c. Mereka bermaksud agar masyarakat rajin pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah umrah dan haji, dan itu bisa terlaksana jika melakukan ibadah haji dalam bentuk ifrad, yaitu pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji saja, kemudian pada waktu lain pergi lagi ke Mekkah untuk melaksankan ibadah umrah. Adapun dalam haji tammatu' , seseorang cukup melakukan ibadah haji dan umrah dengan sekali jalan, ini yang tidak dikehendaki oleh Umar bin Khottanb dan Utsman bin Affan , jadi sebenarnya mereka berdua tidak melarang haji tammatu'. [32]

3. Qadhi Husain, seorang ulama besar dalam Madzhab Syafi'I dalam bukunya " At Ta'liqah "[33] menyebutkan bahwa Imam Ahmad mewajibkan seseorang untuk mendahulukan menyuci tangan atau kaki kanan terlebih dahulu sebelum menyuci tangan atau kaki kiri. Akan tetapi setelah diteliti ternyata Imam Ahmad tidak mewajibkan hal itu, tetapi hukumnya hanya sunnah, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab " Al Mughni .[34]

4. Menentukan awal bulan dengan menggunakan metode Hisab, konon dilakukan oleh seorang ulama besar yaitu Abul Abbas Ibnu Suraij. Akan tetapi setelah diteliti, sebagaimana dalam kitab " Majmu' " , bahwa Ibnu Suraij berpendapat jika hilal (bulan ) tertutup dengan awan atau mendung , maka dalam keadaan seperti ini seorang ahli hisab , ketika mengetahui Hilal bulan Romadlan, dia diharuskan puasa untuk dirinya sendiri.[35] Dari pernyataan Imam Nawawi di atas, paling tidak bisa diambil tiga kesimpulan :
Pertama : bahwa pendapat Ibnu Suraij tersebut digunakan pada Hilal Ramadlan saja, bukan Hilal Syawwal. Ada perbedaan antara keduanya, kalau dalam Hilal Ramadlan, para ulama membolehkan berpuasa dengan persaksian satu orang yang adil saja,- walaupun di dalamnya masih ada perbedaan pendapat-, akan tetapi untuk hilal Syawwal, mayoritas ulama mensyaratkan persaksian dua orang adil . [36]
Yang kedua : Pendapat Ibnu Suraij tersebut , digunakan dalam keadaan mendung dan bulan tertutup.
Ketiga : Menurut Ibnu Suraij, penggunaan Hisab ini hanya dikhususkan bagi ahli ilmu hisab, bukan kepada yang lainnya.

5. Sebagian orang menyatakan bahwa Ummu Waraqah, seorang sahabiyat pernah menjadi Imam bagi kaum laki-laki. Begitu juga diriwayatkan bahwa Abu Tsaur, Muzani dan Tobari membolehkan seorang wanita menjadi Imam sholat. Tetapi setelah ditiliti ternyata hadist Ummu Waraqah hanya menyebutkan bahwa dia menjadi Imam bagi anggota keluarganya, dengan lafadh : " Taummu Ahli Dariha " , sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Kemudian hadist tersebut dikuatkan dengan hadist riwayat Daruqutni yang menjelaskan bahwa anggota keluarganya adalah para wanita, dengan lafadh " Taummu Nisaaha " . Dari situ, menjadi jelas bahwa apa yang dilakukan oleh Aminah Wadud ketika menjadi khotib dan imam dalam sholat jum'at pada tanggal 18 Maret 2005 M, di Synod House, gereja Katedral St. John, milik keuskupan di Manhattan, New York adalah tidak benar dan tidak mempunyai dasar pijakan yang kuat. [37]

D. Harus berhati –hati dengan tergelincirnya seorang ulama.
Di dalam berinteraksi dengan turast, terkadang kita mendapatkan suatu pendapat yang aneh atau nyleneh dari seorang ulama yang terkenal dan kita bingung bagaimana bersikap ? Apakah boleh kita mengikuti pendapat tersebut karena dia ulama ? ataukah kita tinggalkan pendapat itu, karena telah menyelesihi mayoritas ulama ? Seandainya benar-benar seorang ulama tersebut salah bagaimana cara menegurnya ?
Para ulama telah memberikan perumpamaan tergelincirnya seorang ulama bagaikan kapal yang bocor, jika kapal tersebut tenggelam, maka akan tenggelam semua penumpang di dalamnya. Berkata Umar bin Khattab :
" Tiga hal yang akan merusak agama : tergelincirnya seorang ulama, debatnya orang munafik terhadap Al Qur'an, dan para pemimpin yang sesat . " [38]
Berkata Ibnu Abbas :
" Celakalah bagi orang-orang yang mencari-cari tergelincirnya seorang ulama. " Bagaimana itu bisa terjadi ? Berkata Ibnu Abbas : " Yaitu seorang ulama berbicara menurut pikirannya ( tanpa ada dasarnya ) , kemudian orang tersebut mendapatkan ulama lain yang lebih tahu darinya, dia tidak mau mengikutinya, dan tetap mengikuti sang alim yang tergelincir tadi " [39]
Berkata Ibrahim bin Abi Ablah :
" Barang siapa yang suka membawa ilmu yang nyeleneh, maka berarti dia telah membawa kejelekan yang sangat banyak . " [40]
Berkata Imam Malik :
" Sejelek-jelek ilmu adalah ilmu yang nyleneh, dan sebaik-baik ilmu adalah yang jelas dan yang telah diriwayatkan oleh banyak orang. " [41]
Dari riwayat- riwayat di atas, kita mengetahui bahwa mengikuti pendapat-pendapat nyleneh dan aneh dari para ulama adalah perbuatan yang tercela dan dilarang dalam agama. Maka, hendaknya seorang muslim selalu mengikuti hal-hal yang sudah disepakati oleh para ulama atau yang telah dianut oleh mayoritas, paling tidak mengikuti hal-hal yang sudah dikenal dikalangan para ulama.


VIII. KENAPA KEMBALI KE TURAST ?

A. TURAST ADALAH PENGEMBANGAN DARI APA YANG ADA DALAM AL QUR'AN DAN SUNNAH
Sebagaimana kita ketahui, bahwa sumber hukum, bahkan sumber kehidupan umat Islam adalah Al Qur'an dan Sunnah, sehingga seluruh masalah yang dihadapi umat Islam, khususnya masalah-masalah yang masih diperselisihkan harus dikembalikan kepada kedua sumber tadi, sebagaimana firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya [42]

Allah swt juga berfirman :

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali. [43]

Mengembalikan segala sesuatu kepada Al Qur'an dan Sunnah membutuhkan perangkat-perangkat tertentu, yang dalam hal ini ulama-ulama dahulu telah mempunyainya secara lengkap, sehingga mereka mampu menjabarkan apa yang ada dalam Al Qur'an dan Sunnah dalam bentuk karya-karya tulis yang mereka tinggalkan untuk kita. Bagi kita sebagai generasi muda, tidak akan bisa memahami Al Qur'an dan Sunnah secara lebih utuh dan sempurna kecuali kembali kepada karya-karya para ulama terlebih dahulu. Mungkin diantara kita ada yang bertanya : " Bukankah kita juga punya ilmu sebagaimana yang dimiliki para ulama terdahulu, sehingga dengan ilmu-ilmu tersebut kita bisa mengistinbatkan ( menyimpulkan ) suatu hukum dari Al Qur'an dan Sunnah secara sendiri ? " Jawabannya adalah : Benar, akan tetapi banyak ilmu-ilmu yang sudah dirumuskan dan dibakukan metodologinya oleh para ulama, sehingga sangat sulit bagi kita untuk lepas sama sekali dari ilmu-ilmu tersebut, seperti ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu ushul fiqh , kaedah-kaedah ushul fiqh dan ushul fiqh, Nasikh wa mansyukh, ilmu qira'at, ilmu nahwu dan shorof serta lain-lainnya yang tidak bisa disebutkan di sini satu persatu. Untuk menjadi seorang ahli tafsir atau ahli hadist atau ahli fiqh dan seterusnya, harus melalui proses pembekalan terhadap dasar-dasar ilmu-ilmu yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu, yang selanjutnya diistilahkan dengan " Ta'shil Al 'Ilmi ". Sehingga tidak sembarang orang mengaku dirinya ulama, dan kemudian semaunya menafsirkan Al Qur'an dengan akal dan hawa nafsunya. Maka slogan : " Kembali kepada Al Qur'an dan Sunnah " yang sering didengungkan oleh beberapa kelompok umat Islam, harus pahami bahwa proses menuju slogan tersebut harus dengan memahami terlebih dahulu buku-buku turats yang ditinggalkan oleh para ulama. Tanpa itu, maka kita akan terjerumus kepada pemahaman " Liberal " yaitu memahami teks-teks keagamaan tanpa mengindahkan rambu –rambu dan batasan-batasan yang telah diletakan para ulama.

B. TURAST ADALAH BAGIAN DARI SEJARAH UMAT ISLAM
Kalau kita sepakati bahwa turats adalah peninggalan orang-orang sebelum kita, maka turast berarti bagian dari sejarah kehidupan manusia, bahkan bagian yang terpenting dalam sejarah tersebut, karena turast adalah kebudayan dan peradaban yang sempat diabadikan oleh para pelaku sejarah.
Kehidupan kita tidak bisa dilepas dari sejarah masa lalu, karena kenyataan hari ini adalah akibat dari rentetan sejarah pada masa-masa sebelumnya. Oleh karenanya, Al Qur'an sangat memperhatikan dan menekankan sisi sejarah ini, buktinya kita dapatkan 70 persen lebih, isi Al Qur'an dipenuhi dengan pelajaran-pelajaran dari kehidupan umat-umat masa lampau, bagaimana sikap mereka dengan para utusan Allah swt. Begitu juga di dalamnya banyak direkam peperangan-peperangan pada masa Rosulullah saw agar umat Islam yang hidup sesudahnya bisa mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut.
Sejarah bagi sebuah umat bukanlah masa lalu yang tiada artinya, akan tetapi sejarah adalah masa lalu yang hidup, salah satu bagian dari sungai yang besar yang ombaknya mencurahkan berbagai bentuk peradaban…peradaban lama akan mempengaruhi peradaban baru, sedangkan yang baru akan tenggelam dalam tumpukan yang lama dan yang akan datang. Sejarah bukanlah sekedar peristiwa yang kaku dan berhenti, kecuali bagi orang-orang yang telah kehilangan kesadarannya dan tidak percaya kepada dirinya sendiri, sehingga terpaksa mengemis dan menoleh kanan-kiri untuk mencari peradaban umat yang disekitarnya. Sesungguhnya sejarah adalah peti emas yang tersimpan di dalamnya harta karun sebuah umat yang tidak ternilai harganya dan mencakup semua bidang pemikiran, peradaban, keimuan dan penelitian. Harta karun itulah yang akan memberikan hikmah-hikmah sebagai bekal dalam perjalanan menuju sebuah kemajuan.
Sebuah umat yang tidak bisa menghormati sejarahnya dengan segala harta karun peradabannya adalah umat yang telah kehilangan perasaan terhadap sejarahnya, umat yang sakit dan tidak sadarkan diri dan tidak mengerti dengan jati dirinya sendiri, yang akhirnya akan terpinggirkan dari umat-umat yang lain, serta tidak bisa berperan di dalam membangun peradaban di masa mendatang. [44]
Sejarah, - sebagaimana yang ditulis oleh Imam Sakhowi - ddarinya akan diketahui keadaan para raja-raja dan bagaimana mereka mengatur negaranya. Dari sejarah itu juga bisa diketahui bagaimana Negara-negara bisa bangkit dan maju, dan sebaliknya bisa diketahui juga bagaimana mereka bisa runtuh dan hancur, peristiwa- peristiwa yang sering terulang-ulang. Sejarah addalah pengetahuan yang bermanfaat, barang siapa yang menguasainya seakan-akan dia hidup sepanjang masa, seakan-akan ia pernah mempunyai pengalaman dalam segala hal, serta merasakan bahwa ia pernah hidup pada zaman itu. [45]
Di dalam Al Qur'an disebutkan bagaimana sebuah bangsa bisa bangkit dan runtuh, sebagaimana firman Allah swt :

ذَلِكَ مِنْ أَنبَاء الْقُرَى نَقُصُّهُ عَلَيْكَ مِنْهَا قَآئِمٌ وَحَصِيدٌ ، وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَـكِن ظَلَمُواْ أَنفُسَهُمْ فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ مِن شَيْءٍ لِّمَّا جَاء أَمْرُ رَبِّكَ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ ، وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ

Itu adalah sebahagian dan berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang Kami ceritakan kepadamu (Muhammad); di antara negeri-negeri itu ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah. Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka. Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. [46]

Untuk bangsa-bangsa yang bangkit dan menjadi besar, maka kita sebagai generasi masa kini, bisa mempelajarinya, bagaimana mereka bangkit dan maju serta besar. Seorang pakar sejarah Ibnu Kholdun menulis bagaimana sebuah Negara menjadi kuat :

" Bahwa sesungguhnya sebuah negara yang besar pada dasarnya karena agama, baik dari sebuah kenabian maupun karena dakwah yang hak. Hal tersebut karena sebuah kerajaan hanya bisa diwujudkan dengan kemenangan, dan sebuah kemenangan dihasilkan dari sebuah kefanatikan, dan keserasian jiwa untuk mewujudkanya. Sedangkan penyatuan hati dan pembinaanya dalam rangka menegakka agama Allah hanya bisa terwujud karena bantuan Allah swt. Allah swt berfirman :
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مَّا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana . [47]

Dan rahasianya lagi bahwa jiwa-jiwa manusia jika senang kepada hawa nafsu yang batil dan cenderung kepada kesenangan dunia, maka akan terjadi perebutan dan perselisihan yang banyak. Akan tetapi jika jiwa-jiwa manusia tersebut diarahkan kepada kebenaran ( Al Haq ) dan dipalingkan dari kesenangan dunia dan kebatilan, serta bisa dihadapkan kepada Allah swt, niscaya akan bersatu arahnya, maka perebutan itu akan hilang dengan sendirinya , dan perselisihanpun akan semakin pudar, sebaliknya akan tumbuh kerjasama dan rasa saling menolong, sehingga kesatuan akan semakin berkembang , dan selanjutnya negarapun akan menjadi besar . [48]"

Dari perjalanan sejarah sebagaimana yang diungkap oleh Ibnu Kholdun di atas, manusia bisa membangun peradaban. Sejarah adalah bagian dari turast, maka dengan banyak mengetahui turast Islam, niscaya generasi masa kini, akan mampu membangun peradaban sebuah bangsa. Dan dengan semakin banyak membaca turast juga, generasi masa kini bisa menghindari hal-hal yang menyebabkan kehancuran sebauah bangsa. Ibnu Kholdun menulis tentang bahaya kedholiman terhadap keutuhan sebuah bangsa :

" Ketahuilah bahwa tindakan merampas harta rakyat akan menyebabkan mereka tidak semangat lagi untuk bekerja, karena mereka mengetahui bahwa hasil kerjanya akan diambil dan dirampas oleh Negara. Jika mereka tidak semangat lagi dalam kerja, maka mereka akan berhenti untuk bekerja. Keengganan mereka untuk bekerja tergantung kepada kadar besar kecilnya perampasan terhadap harta mereka, jika perampasan harta tersebut meluas dan masuk pada seluruh lini kehidupan , maka kemalasan bekerja juga akan menjalar pada semua lini kehidupan. Sebaliknya jika tindakan perampasan harta itu sedikit, maka kemalasan dalam bekerja juga seperti itu. Maka pembangunan dan perkembangannya serta keramaian pasarnya hanya akan bisa diwujudkan dengan kerja dan usaha rakyat di dalam mewujudkan maslahat dan laba. Jika rakyat hanya duduk menganggur dan tidak mau bekerja, secara otomatis pasar akan sepi, pembangunan akan berhenti, keadaan akan kacau , rakyatpun akan bertebaran kemana-mana untuk mencari rizki sehingga keluar dari batas kewajaran, sehingga rakyat semakin sedikit dan rumah-rumah menjadi kosong , serta wilayah-wilayah menjadi sepi, sehingga keadaan Negara dan pemerintah akan menjadi goyang , karena wilayah-wilayah tersebut merupakan gambaran dari pada pembangunan, dia akan rusak dengan rusaknya rakyat yang di dalamnya secara otomatis. " [49]

C. TURAST DAN BUDAYA BACA - TULIS

Sejarah dan turast yang sampai kepada kita, yang dengannya kita mengetahui peradaban suatu bangsa dan umat, hampir semuanya melalui tulisan. Iya, mereka membangun peradaban bangsa dengan menorehkan pikiran dan ilmu mereka dalam bentuk tulisan. Sebagaimana firman Alalh swt :
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran pena [50]

Dalam ayat tersebut, Allah swt menyatakan bahwa Dia-lah Yang mengajarkan manusia dengan pena. Hal ini mengisyaratkan bahwa :
- Kita sebagai generasi masa kini telah diajarkan berbagai jenis ilmu dan pengetahuan serta hikmah-hikmah melalui hasil goresan pena orang-orang sebelum kita, yaitu dengan adanya buku-buku turast.
- Dan kita-pun akan mengajarkan ilmu pengetahuan dan hikmah kepada generasi sesudah kita dengan goresan pena.
Kemudian kita harus mengetahui bahwa tulisan-tulisan yang telah digoreskan oleh para ulama tersebut adalah hasil perenungan dan bacaan terhadap buku dan lingkungan sekitar. Dari sini membaca dibagi menjadi dua :
Membaca tulisan yang merupakan karya manusia.
Membaca alam yang diciptakan Allah untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Maka pada ayat sebelumnya, yaitu ayat pertama yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw adalah perinta untuk membaca :
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.[51]

Ayat di atas adalah perintah Allah swt untuk membaca dan mempelajari fenomena alam dengan nama Allah, membaca fenomena alam untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa konsep ilmu dalam Islam adalah :
1/ Bahwa semua ilmu , baik yang berupa tulisan dalam berbagai disiplin ilmu, maupun non tulisan ( fenomena alam ) jika bisa mendekatkan diri kepada Allah swt , maka wajib bagi setiap muslim untuk menuntut dan mempelajarinya.
2/ Bahwa kehidupan dunia dengan lingkungan dan alam yang ada ini adalah ilmu yang disediakan Allah agar kita membaca dan mempelajarinya.
3/ Hal ini dikuatkan dengan apa yang disebutkan dalam Al Qur'an tentang definisi Ulul Albab ( cendekiawan ) menurut Al Qur'an, yaitu dalam firman Allah swt :

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal [52]

Ulil Albab ( cendekiawan ) menurut ayat di atas adalah orang yang mampu membaca alam sekitarnya dan mengolahnya dalam pikirannya, kemudian menjadikannya bekal untuk mengarungi kehidupan dunia ini. Selain itu, hasil pembacaan tadi digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dan menegakkan ajaran-ajaran-Nya di muka bumi ini.
Kesimpulannya dalam permasalahan ini, bahwa turast yang kita warisi dari nenek moyang kita, khususnya para ulama adalah hasil dari proses pembacaan terhadap buku dan alam sekelilingnya kemudian digoreskan dalam bentuk tulisan. Maka, jika kita hendak meninggalkan turast kepada generasi selanjutnya, harus mengikuti proses pembacaan dan penulisan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para pendahulu kita.

D. PENGAKUAN BARAT TERHADAP KEAGUNGAN TURAST ISLAM

Kalau kita mau mengumpulkan pengakuan orang-orng Barat terhadap keagungan peradaban dan turast Islam, maka sungguh akan kita dapatkan sangat banyak sekali. Akan tetapi dalam kesempatan yang terbatas ini hanya akan diungkapkan beberapa kesaksian dari tokoh-tokoh mereka saja. Agar orang-orang yang terpana dengan peradaban Barat bisa kembali melek dan sadar dari kebodohan mereka. Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah :
1/ Berkata Dawber , seorang dosen di NewYork University :
" Ketika kholifah berada di tangan Al Makmun pada tahun 813 M, maka pada waktu juga Baghdad berubah menjadi ibu kota ilmu pengetahuan terbesar di dunia ini. Di kota tersebut, sang kholifah mengumpulkan buku-buku yang tidak terhitung lagi jumlahnya, dan para ulamapun dikumpulkan agar dekat dengan-nya dan diapun sangat bangga dengan mereka. "

Kemudian dia meneruskan perkataannya :
" ….Sesungguhnya mereka ( kaum muslimin ) telah mengangkat ilmu-ilmu pengetahuan yang lama dengan secara luar biasa, dan juga menciptakan ilmu-ilmu pengetahuan baru yang belum pernah diketahui oleh orang-orang sebelum mereka…Sesungguhnya universitas-universitas kaum muslimin sangat terbuka sekali bagi para mahasiswa Barat yang datang ke Negara-negara mereka untuk menuntut ilmu, sedangkan para raja Eropa dan para pemimpinnya ikut datang juga ke Negara-negara tersebut dalam rangka berobat. "

2/ Berkata Sidylauch :
" Sesungguhnya kaum muslimin pada abad pertengahan adalah satu-satu umat yang menguasai ilmu, filsafat dan kesenian….kemudian mereka menyebarkannya dimana mereka berada, dari merekalah ilmu-ilmu tersebut masuk ke Eropa, maka merekalah ( kum muslimn ) penyebab bangkit dan majunya Eropa "

3/ Berkata Louben :
" …Ketika keadaan Eropa sangat mundur, maka pada saat yang sama perpustakaan-perpustakaan di Andalus mempunyai ratusan ribu buku dari berbagai bidang pengetahuan manusia, di dalamnya benar-benar didapatkan ilmu saja, begitu juga adab dan kesenian… "

4/ Berkata Libery :
" Jika bangsa Arab ( umat Islam ) tidak tampil dalam sejarah, niscaya Eropa Modern akan terlambat bangkitnya sampai beberapa abad "

5/ Berkata Lien Paul :
" Pada waktu itu Eropa sedang terkungkung dalam kebodohan dan kemunduran , sedangkan pada saat yang sama Andalus sudah membawa kemimpinan ilmu dan bendera pengetahuan di alam ini . "

6/ Berkata Brefflut :
" Ilmu adalah sesuatu yang paling besar yang pernah dipersembahkan bangsa Arab ( umat Islam ) kepada dunia modern, dan tidak ada satupun sisi dari sisi- sisi perkembangan Eropa kecuali ada pengaruh kebudayaan Islam di dalamnya. " [53]

E. TURAST ADALAH HASIL JERIH PAYAH PARA ULAMA

Menulis sebuah buku, bukanlah pekerjaan yang mudah seperti membalikkan telapak tangan. Menulis buku memerlukan sebuah ketekunan yang luar biasa dan tanggung jawab moral yang sangat tinggi. Untuk menulis sebuah buku, para ulama telah mengorbankan segala yang mereka miliki, dari harta, keluarga dan waktu. Bahkan sebagian dari mereka seakan-akan tidak dilahirkan ke dunia ini, kecuali untuk menulis sebuah buku. Jerih payah seperti ini tentunya harus kita hormati. Sebuah Umat yang tidak mau menghormati jerih payah mereka adalah umat yang sudah kehilangan kesadaran dan kepercayaan dirinya. Umat seperti ini tentu saja tidak akan bisa membuat sejarah kecuali dengan kemalasan dan kejumudan.
Salah satu contoh dari kesungguhan para ulama di dalam menulis sebuah buku, sehingga karya-karya mereka benar-benar menjadi cahaya dan penerang bagi perjalanan umat dan generasi yang datang kemudian adalah apa yang terjadi pada diri seorang Ibnu Hajar Al Atsqalani ketika menyusun syarh " Shohih Bukhari " , yang kemudian terkenal dengan nama : Fathul Bari. Beliau telah menghabiskan umurnya selama 40 tahun untuk mengumpulkan data- data dan bahan-bahan penulisannya saja , maka tidak aneh, jika salah seorang ulama memberikan apresiasinya kepada buku " Fathul Bari " dengan menukil sebuah hadist ( La Hijrata Ba'da Fath ) yang ia maksudkan adalah : " Tidak ada hijrah setelah Fathul Bari, yaitu tidak ada buku syarh Shohih Bukhari yang lebih lengkap setelah meninggalnya Ibnu Hajar dari pada buku " Fathul Bari ". [54] . Pada sisi lain, kita dapatkan Imam Bukhari, sebelum meletakkan hadist di dalam kitab " Shohih-nya, beliau pasti melakukan sholat dua rek'aat terlebih dahulu memohon taufik dari Allah agar hadist yang ia susun itu benar-benar bermanfaat bagi kaum muslimin.

IX. KIAT-KIAT MEMAHAMI TURAST

Sebenarnya banyak tehnik yang bisa digunakan untuk memahami buku-buku turast . Ini tergantung kepada daya tangkap dan kecenderungan orang yang menggunakannya. Namun, tidak salahnya kalau kita paparkan beberapa tehnik mendasar, yang secara pengalaman, bisa banyak membantu di dalam memahami buku-buku turast. Selebihnya bisa dikembangkan oleh masing-masing yang berkepentingan. Tehnik-tehnik itu adalah sebagai berikut :

1/ Belajar dari syekh atau guru.

Cara ini adalah cara yang paling efesien untuk memahami turast, karena dengan bimbingan seorang guru yang berpengalaman, seseorang tidak usah bersusah payah untuk memahami istilah atau kata-kata yang asing baginya. Selain itu, dia akan bisa membandingkan dengan isi buku-buku lainnya yang terkait. Seorang syekh atau guru yang baik, dengan ilmu dan pengalamannya, akan memberitahukan semua yang dibutuhkan muridnya. Akan tetapi sangat disayangkan, metode belajar seperti ini sudah banyak ditinggalkan oleh sebagian besar para pelajar. Dengan berbagai alasan, diantaranya bahwa belajar dengan syekh akan membuang-buang waktu. Padahal justru sebaliknya, dengan belajar langsung dengan syekh hasilnya lebih bisa dipertanggungjawabkan dan lebih efesien waktu.
Metode belajar ketrampilan, ternyata sampai sekarang masih menggunakan metode “ talaqqi ‘ ( belajar dari ahlinya secara langsung ), seperti belajar menyetir mobil, mengemudikan pesawat terbang , cara menggunakan komputer dan memperbaikinya, serta ilmu-ilmu ketrampilan lainnya. Tentunya untuk menguasai ilmu syari’ah dibutuhkan metode serupa, dan bahkan lebih dari itu, karena ilmu syareah ini bagaikan bahtera yang tidak bertepi ( bahrun la sahila lahu ), sulit bagi seseorang untuk menguasainya tanpa menggunakan cara belajar yang benar.

2/Buku- buku pengantar.

Sebagai pendukung dari cara pertama, dianjurkan bagi setiap pelajar untuk melengkapi pemahamannya dengan membaca buku-buku pengantar. Yaitu buku-buku yang menerangkan tentang seluk beluk salah satu bidang ilmu, seperti fiqh dan hadits, atau tentang istilah-istilah yang dipakai oleh suatu madzhab, atau tentang metodologi yang digunakan oleh seorang ulama di dalam mengarang, atau tentang isi sebuah buku. Ini sangat penting sekali, bagi seorang pelajar, karena dengan membaca buku ini, banyak hal yang bisa diketahui secara singkat dengan tidak harus mencarinya sendiri. Buku ini sebagaimana namanya merupakan “ pintu gerbang “ untuk memasuki sebuah buku atau karangan.
Beberapa contoh dari buku- buku pengantar adalah :
- Al Madkhol ila Madzhab Al Imam Ahmad, karya Ibnu Badran ( Kairo, Dar Al Aqidah , 1422/ 2001 )
- Al Madkhol li Dirasat Al Qur'an Al Karim, karya Prof. DR. Syekh Muhammad Abu Syahbah. ( Kairo, Maktabah As Sunnah, 1423/2003 )
- Al Madkhol, karya Prof. DR. Ali Juma'ah. ( Kairo : Dar As Salam )
- Tarikh Alfiqh al-islami –Asr nasyat almadzhab, karya Muhammad Yusuf Musa
- Al-qowaid Al-fiqhiyah (mafhumuha-nasyatuha-tathowuruha-dirosatamuallifuha- adilatuha-muhammatuha-tadhbiqotaha), karya DR Ali Ahmad Al-Nadawi
- Ishtilah al-madhhab inda Al-Malikiyah, karya DR. Muhammad Ibrahim Ahmad Ali .
- Al Tafsir wa al-mufassirun, karya DR. Muhammad Husein Ad-Dzahabi

3/Risalah Ilmiyah ( Thesis, Disertasi ).

Risalah ini akan sangat membantu di dalam memahami turast, karena ditulis dengan menyertakan referensi yang cukup dan akurat serta dipertanggung jawabkan di depan sidang ilmiyah. Diantara judul-judul Thesis dan Disertasi yang bisa menjadi pendukung untuk memahami turast adalah :
- Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlu Sunnah wal Jama’ah, karya DR Muhammad Husen Al-Jizany.
- Dhowabith al Maslahah fi al Syare’ah al Islamiyah , karya DR. Muhammad Sa’id Romadlon Al Buthi
- Al Maqhosid al ‘ammah li al Syare’ah al Islamiyah, DR. Yusuf Hamid Al ‘Alim
- Al Ijtihad, karya DR. Nadiyah Mushtofa
- Ta’lil al-Ahkam , karya DR. Muhammad Musthofa Syalbi
- Atsaru al- Urfi fi al Tasyri’ al Islami, karya DR. Sayid Sholeh Iwad
- Al Mashlahah fi al-Tasyri’ al-Islamy wa Najmuddin Al Thufi, karya DR. Musthofa Zaid dan lain-lainnya

4/ Buku-buku turost yang sudah ditahqiq atau disyareh

Buku turast yang sudah ditahqiq dan bisa dipertanggung jawabkan, baik yang berupa Tesis, Disertasi ataupun yang lainnya, akan sangat membantu di dalam memahami turast, khususnya di dalam memahami istilah-istilah asing ataupun kalimat-kalimat yang sulit. Diantaranya adalah :
- Syarh Al Waraqat Ibnu Qasim Al Abbadi ( W : 992 H ) , ditahqiq dan disyareh oleh DR Muhammad bin Sholeh Ubaid An Nami ( Disertasi di Universitas Islam Madinah tahun 1410 H ) – 1304 halaman
- Al Mahsul , karya Fahrudin Ar Rozi , ditahqiq dan disyareh oleh DR. Toha Jabir Al Ulwani ( Disertasi di Universitas Imam bin Su’ud Riyadh tahun 1976 )
- Salisil Al Dzahab, karya Al- Zarkasyi , ditahqiq dan disyareh oleh DR. Muhammad Mukhtar Al -Syenkiti , Disertasi di Universitas Al Madinah tahun 1404 H ) – 542 halaman
- Bayan Al Mukhtasor, karya Al Asfahani, ditahqiq dan disyareh oleh, DR. Ubaid Mu’ad Syekh, Disertasi di Universitas Islam Madinah tahun 1405 H ) – 639 halaman
- Al Hasil, karyaTajuddin Al Armawi,( Disertasi di Universitas Al Azhar tahun 1976)
- “ Al Muwafaqat “ , karya Abu Ishaq Al Syatibi, yang ditahqiq dan disyareh oleh Syekh Abdullah Darraz.

5/ Buku-buku kontemporer ilmiyah.

Buku-buku kontemporer ilmiyah adalah buku-buku kontemporer yang mengulas dasar- dasar suatu bidang ilmu tertentu atau mengulas suau masalah ilmiyah secara umum. Biasanya buku- buku semacam ini dilengkapi dengan referensi yang memadai. Dalam menerangkan masalah-masalah ilmiyah tersebut, sang penulis menggunakan bahasa kontemporer yang jelas dan bisa dipahami para pembacanya. Tidak sedikit dari para penulis tersebut, menukil pernyataan para ulama terdahulu, yang mungkin kalau membacanya sendiri dari buku turast secara langsung , kita akan mendapatkan banyak kesulitan untuk memahaminya. Selain itu, dengan referensi yang disebutkan oleh pengarang, seorang pelajar bisa mengetahui bahwa suatu masalah telah dibahas oleh ulama-ulama terdahulu di dalam beberapa karangan mereka. Diantara buku- buku kontemporer ilmiyah tersebut antara lain :

- Dalam bidang hadist : Hukmu Al 'Amal bi Al Hadist Al Dho'if fi Fadhoil Al 'Amal, karya Asyrof bin Sa'id
- Dalam bidang ushul fiqh : Al Ijtihad al Maqhosidi, karya DR. Nurudin bin Mukhtar al Khodimi .

6/Muqaddimah dari buku turast itu sendiri.

Memahami turast juga bisa terbantu dengan membaca kata pengantar atau muqaddimah atau sering disebut dengan “ khutbah al-kitab “ dari pengarangnya. Di dalam muqaddimah tersebut, biasanya para pengarang menjelaskan latar belakang penulisan buku, atau istilah-istilah khusus yang dipakai di dalam tulisan tersebut, dan hal-hal lain yang serupa. Sebagai contoh :
- Muqaddimah yang terdapat dalam buku : " Syarh Shohih Muslim "
- Muqaddimah yang terdapat dalam buku : " Al Majmu' Syarh Al Muhadzab "

7/Kamus Istilah, Ma’ajim, dan Mausu’at ( Ensiklopedia )

Di sana ada beberapa kamus atau Ma’ajim yang ditulis untuk menerangkan istilah-istilah khusus bagi bidang ilmu tertentu. Buku-buku seperti ini sangat penting dimiliki untuk memahami turast, karena dengannya, kita akan banyak mengetahui arti sebuah kata menurut istilahnya. Beberapa contoh dari buku-buku ini adalah :

- Mu’jam Mushtholahat Ushul al Fiqh, karya Qutb Musthofa Sanu
- Fathul Mubin fi Istilah Fuqaha wa Ushuliyyin, karya DR Ibrahim Khafwani, (Tahdhib Asma' wa Al Lughot, karya Imam Nawawi ( di dalam buku ini diterangkan para tokoh dan istilah –istilah fiqh dalam Madzhab Syafi'I )
- Thilbat at Tholabah fi Al Istilah Al Fiqhiyah, karya Imam Nasafi ( di dalam buku ini diterangkan istilah –istilah fiqh dalam Madzhab Hanafi )
- Mu'jam Lughotu Al fuqaha, karya Muhammad Rowas Qol'aji.
- Al Ma'usu'ah Al Fiqhiyah, terbitan Kementrian Wakaf dan Urusan Islam, Kuwait

8/Dilakukan secara bertahap.

Salah satu faktor yang mendukung penguasaan turats adalah dengan mempelajarinya secara betahap dan berurutan. Artinya, seorang pelajar tidak diperbolehkan mempelajari buku- buku yang berat sebelum menguasai buku- buku yang ringan dan ringkas. Tehnik ini berlaku pada semua bidang ilmu. Termasuk ketika kita mempelajari ilmu kedokteran, biologi, fisika, komputer dan lain-lainnya. Ini sesuai dengan firman Allah swt di dalam surat Ali Imran , ayat 79 :

وَلَـكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ

“ Akan tetapi (dia berkata) : “ Hendaknya kamu menjadi orang-orang Robbani, karena kamu selalu mengajarkan al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya “

“ Robbani “ , menurut sebagian ahli tafsir adalah orang- orang yang mempelajari ilmu dari yang kecil atau dasar kemudian baru yang lebih besar.

Oleh karenanya, dianjurkan bagi para pelajar untuk menguasai matan-matan dan buku-buku kecil terlebih dahulu sebelum beranjak ke buku yang lebih besar dan panjang. Para ulamapun telah meletakkan urut-urutan buku terebut dalam berbagai disiplin ilmu .

1/ Dalam bidang Ushul Fiqh umpamanya :
- Terdapat matan : " Al Waraqat “ karya Imam Haramain, yang harus dikuasai terlebih dahulu, sebelum menguasai buku-buku ushul fiqih lainnya. Matan ini, walaupun kecil dan ringkas, namun telah diakui oleh para ulama seluruh dunia sepanjang masa. Setelah ditelusuri, ternyata lebih dari 52 buku yang telah ditulis untuk mensyareh ( menerangkan ) apa yang terdapat di dalam matan" Al Waraqat " tersebut, sebagaimana yang disebutkan di dalam buku “ Al Isyarat ila Syarhil Waraqat “ karya DR. Umar Gani Su’ud Al Ani yang berjumlah 36 halaman . Dan yang paling mutakhir adalah Syareh Syekh Utsaimin dan Syareh Syekh Abdullah Fauzan ( 193 halaman )
- Selain itu dianjurkan juga mendengarkan kaset-kaset syareh Al Waraqat, diantaranya adalah rekaman dari Syareh Syekh Utsaimin yang berjumlah 5 kaset. Dan rekaman dari Syareh Syekh Kholid Al Musyaiqih yang berjumlah 15 kaset
- Syarh Ushul min Ilmi Al - Ushul, karya Syekh Utsaimin.
- Ushul Fiqh, karya Abdul Wahab Kholaf, Syekh Abu Zahrah, Syekh Ahmad Khudhari, Syekh Abu Nur Zuhaer.
- Ushul Fiqh Al Islamy, karya DR. Wahwab Zuhaili dan DR. Amir Abdul Aziz .
- Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlu Sunnah wal Jama’ah, karya DR Muhammad Husen Al-Jizany.
- Kemudian buku-buku ushul fiqh pengembangan yang ditulis oleh ulama-ulama kontemporer, seperti : Dhowabith al Maslahah fi al Syare’ah al Islamiyah, karya DR. Muhammad Sa’id Romadlon Al Buthi, Al Ijtihad, karya DR. Nadiyah Mushtofa dan lain-lainnya .
- Setelah itu baru masuk pada buku-buku Turats Muthowalat (Buku-buku turats yang besar dan panjang )
2/ Dalam bidang fiqh syafi'I , terdapat matan : " Ghoyat al Ikhtishor " karya Abu Syuja', yang harus dilewati terlebih dahulu, sebelum mempelajari " Kifayah Al Akhyar ", karya Abu Bakar Al Husaini, atau " Al Iqna' " , karya Al Khotib Al Syarbini yang keduanya merupakan syareh dari matan tersebut.
3/ Dalam bidang mushtolah hadist, seseorang harus menguasai matan : " Nukhbat Al Fikr " sebelum beranjak ke syarehnya yaitu : " Nuzhat Al Nadhor " ,yang keduanya merupakan karya Ibnu Hajar Al Atsqalani.


X. PENUTUP :

Demikian tulisan singkat tentang turast yang merupakan harta karun peradaban umat Islam, tentunya masih banyak kekurangannya. Tapi yang sedikit ini mudah-mudahan bermanfaat dan membukaan mata kita, bahwa kita sebagai umat Islam ternyata mempunyai kekayaan peradaban yang luar biasa. Khususnya bagi para penuntut ilmu yang masih pemula agar bisa bersikap arif terhadap turats umat Islam dan tidak tergesa-gesa untuk segera menguasainya dalam waktu singkat. Karena segala sesuatunya memerlukan waktu dan tehnik , bahkan pengetahuan tentang tehnik kadang jauh lebih penting dari penguasaan materi itu sendiri, sebagaimana kata pepatah : " At Thoriqatu ahammu mi al madah " . Yang jelas hendaknya kita banyak belajar dari pengalaman orang lain. Jangan sampai, karena terlalu percaya diri, sehingga kita tidak mau berguru kepada orang lain. Akhirnya kita perlu merenungkan kata-kata Imam Syafi'I :
" Barang siapa yang menjadikan buku sebagai gurunya, maka kesalahannya akan lebih banyak daripada kebenarannya. "
أقول قولى هذا واستغفر الله لى ولكم ولسائر المسلمين ، وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين والحمد لله رب العامين .
























* Makalah ini dipresentasikan dalam acara Seminar Sehari yang diadakan oleh STID (Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah ) Muh. Natsir pada tanggal 3 Mei 2008 M, di Gedung Menara Dakwah , Jakarta Pusat.
** Penulis adalah alumnus Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, Fakultas Studi Islam, Jurusan Syari'ah. Pernah menjabat sebagai ketua Majlis Tarjih PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah ) Mesir 2006-2008. Sekarang aktif sebagai Direktur Pesantren Tinggi "Al Islam", Pondok Melati, Bekasi., salah satu pengurus DDII Pusat, peniliti di INSIST Jakarta Selatan, dosen di Pasca Sarjana Studi Islam di UMS Surakarta, PSTTI- UI, Jakarta , STID Muh. Natsir Jakarta Pusat, dan U. Hamka.. Web Site : www.ahmadzain.com / www.ahmadzain.co.nr .

[1] Ahmad bin Muhammad Al Fayumi, Al Misbah Al Munir, ( Kairo : Dar Al Hadits, 1424/ 2003 ) Hal.389 , Muhammad bin Abi Bakr Ar Rozi, Mukhtar As Shiha' : ( Kairo : Dar Al Hadist, 1424/ 2003 ) hal.382 . Kata : " turast " dengan wazn " fu'al " yang berarti maf'ul seperti kata " tujah, tuhmah, tuqah, tukhmah " .
[2] Qs Al Fajr : 19
[3] Lihat Qurtubi, Al Jami' li Ahkami Al Qur'an, Juz : XX, Hal : 53 , Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur'anil Adhim, Muhaqiq : Sami Muh. Salamh ( Dar Toyibah, 1420/ 1999) Cet Ke – 2 , Juz :VIII, hal. 399
Ibnu Asyur, At Tahrir wa At Tanwir, Juz XVI ; hal. 256
[4] Prof. DR. Bakr Zaki "Iwad, At Turast Al Islami baina At Taqdir wa At Taqdis,(Kairo : Wazaratul Auqaf , 1426/2005 ) hal. 7
[5] Anwar Jundi, Al Mu'ashirah fi ithori Al Al Asholah, ( Kairo : Dar As Shohwah, 1407/1987 ) Cet. Ke-1 , hal.3
[6] Muhammad Qutb, Haula At-Tafsir Al-Islami li At Tarikh, ( Kairo : Muassasah Badran ) hal. 17
[7] Ibid, hal. 8
[8] DR. Musthofa As Siba'I, Al Istisyraq wa Al Mustasyriqun, ( Kairo : Dar As Salam, 1418 – 1998 ) Cet. Ke – 1 , hal. 9
[9] Untuk mengetahui bantahan para ulama terhadap buku Mahmud Abu Rayyah tersebut, bisa dirujuk : DR. Syeikh. Muhammad bin Muhmmad Abu Syahbah, Difa' 'an As Sunnah, ( Kairo : Maktabah As Sunnah, 1409/1989 ) Cet Ke-1 .Hal.34- 248
[10] Dr. Muhammad Al Bahi. Al Fikr Al Islami wa Tathowuruhu, hal. 3
[11] Prof. DR. Bakr Zaki "Iwad, op. cit. hal. 10
[12] DR. Yusuf Qardhawi , " Kaifa Nata'amal ma'a At Turast " ,( Kairo : Maktabah Wahbah, 1425 H/ 2004 M ) cet . Ke – 2, hal.34
[13] Qs Al Isra' : 36
[14] Qs Al A'raf : 176
[15] Qs Al Anbiya' : 52-53
[16] Qs Al Baqarah : 170
[17] Qs At Taubah : 31
[18] Qs Nuh : 23
[19] HR Bukhari di dalam Shohih-nya , Juz VIII, hal. 667, no hadist : 4920. Tafsir Ibnu Abbas dalam hal ini bisa dijadikan standar, selama tidak bertentangan dengan ayat-ayat lain dan tidak ada perselisihan dengan sahabat lain, karena para sahabat tentunya jauh lebih mengetahui tentang ayat yang turun kepada mereka dibanding dengan yang lainnya. Dari ayat dan hadist di atas, para ulama menyimpulkan bahwa salah satu sebab menyebarnya kesyirikan di masyarakat dikarenakan mereka terlalu berlebih-lebihan di dalam menghormati para ulama dan orang-orang sholeh.( Syekh Ibnu 'Utsaimin, Al Qaul Al Mufid Syarh Kitab At Tauhid,( Kairo : Dar Al Aqidah, 1425/ 2004 ) Cet- 1, hal. 229-230 )
[20] Prof. DR. Bakr Zaki 'Awad, op. cit. hal. 15
[21] Syekh Muhammad Ahmad Ismail Al Muqaddim, Hurmatu Ahli Al Ilmi ( Kairo : Dar Al Aqidah, 1426/2005 ) Cet- Ke 7, Hal.369
[22] Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa , Juz XI, hal.512 . Silahkan dirujuk juga Juz XX, hal 8-9 , Juz XVIII, hal. 15-17 .
[23] Qs Al Mukmin : 83
[24] Adalah tidak terlalu aneh jika ada sebagian tokoh sekuler dan liberal dari Mesir yang mengajak membakar buku-buku turast tersebut, seperti Jamal Al Banna. Akan tetapi yang aneh jika ajakan itu berasal dari orang-orang yang menyatakan diri mereka adalah pembela Aqidah Salaf , hanya karena sebagian isinya terdapat beberapa kesalahan atau kekurangan. (Muhammad Ahmad Ismail Al Muqaddim, Hurmatu Ahli Al Ilmi ( Kairo : Dar Al Aqidah, 1426/2005 ) Cet- Ke 7, Hal. 313 ) Dalam hal ini Imam Ibnu Qayyim menyatakan :
" Termasuk dalam Kaidah Syari'at dan Hikmah adalah barang siapa yang kebaikannya sangat banyak dan besar , serta mempunyai peran yang sangat jelas dalam Islam, maka orang seperti ini masih bisa ditoleransi, dan dimaafkan kekhilafannya, tidak seperti yang lainnya. Sesungguhnya maksiat adalah suatu kotoran, akan tetapi air jika sampai 2 qullah maka tidak akan membawa kotoran. Berbeda halnya dengan air yang sedikit, dia tidak akanmampu membendung kotoran yang paling kecil sekalipun.
( Ibnu Qayyim, Miftah Dar As Sa'adah , Juz I, hal. 176 )
[25] Qs An Nisa; 135
[26] Qs Al Maidah; 8
[27] Syekh Islam Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, Juz XI, hal 17-18
[28] Imam Syatibi, Al I'tishom, Juz I , hal. 228-291
[29] Imam Nawawi, Al Majmu' , ( Beirut : Dar Al Fikr, 1417/1996 ) Cet- Ke 1, Juz I, hal. 337.
[30] Ibnu Hazm, Al Muhalla bil Atsar, ( Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyah ) Juz I, hal. 423.
[31] Zain bin Ibrahim bin Muhammad Bakr, Bahru Ar Raiq Syarh Kanz Daqaiq, ( Beirut : Dar Al Ma'rifat ) Juz II, hal . 383
[32] Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, Juz : XXVI, Hal. 54 , Bisa dirujuk juga , Imam An Nawawi, Al Majmu' , Juz VII, hal 131
[33] Qadhi Husain, At Ta'liqah ( Mekkah, Nazar Mushtofa Al Baz ) Juz I, hal. 298
[34] Ibnu Qudamah, Al Mughni, ( Beirut, Dar Al Fikr, 1427/1997 ) Cet Ke – 2, Juz I , hal 157
[35] Imam Al Nawawi ,Al -Majmu’( Beirut : Dar al Fikri, 1996,) Cet: Ke -I, Juz : VI, hlm : 282
[36] Ibid, jilid : 6, hlm : 283
[37] Para ulama telah membantah perbuatan bid'ah yang dilakukan oleh Aminah Wadud tersebut, diantaranya apa yang ditulis oleh DR. Muhammad Nu'aim Sa'I, di dalam bukunya : " Haditsah New York Imraat takhtub wa taummu al Rijal wa Al Nisa' yaum al Jum'at ( Kairo : DarAs Salam, 2005 )
[38] Atsar ini diriwayatkan oleh Darimi di dalam As Sunan, Juz I , hal. 71
[39] Atsar ini disebutkan oleh Ibnu Abdul Barr di dalam bukunya : Jami' Bayan Al Ilmi , no : 1877
[40] Ad Dzahabi, Siar A'lam Nubala' , Juz III, hal. 391
[41] Tartib Al Madarik , Juz I, hal. 184
[42] Qs. An Nisa : 59
[43] Qs As Syura : 10
[44] DR. Abdul Halim Uwais, Fiqh Tarikh fi Dhoui Azmatu Al muslimn Al-Hadhariyah, ( Kairo : Dar As Shohwah, 1414 H/ 1994 M ) Hal. 5
[45] Muhammad bin Abdurrahman As Syakhowi, Al I'lan bi At Taibikh liman dzam At Tarikh , Pentahqiq : Muhammad Utsman Al Khusyt , ( Kairo : Maktabah Ibnu Sina, 1989 ) Hal. 28
[46] Qs Hud : 100-112
[47] Qs Al Anfal : 63
[48] Abdurrahman ibnu Kholdun, Al Muqaddimah, ( Kairo, Dar Ibnu Al Haitsam, 1426-2005 ) Cet. Ke-1, hal 127
[49] Abdurrahman ibnu Kholdun, Al Muqaddimah, ( Kairo, Dar Ibnu Al Haitssam, 1426-2005 ) Cet. Ke-1, hal 228
[50] Qs Al "alaq : 4
[51] Qs Al "Alaq : 1
[52] Qs Ali Imran : 190
[53] Abdullah Nasih 'Ulwan, Ma'alim Al Hadharah fi Al Islam wa atsuruha fi An-Nahdhah Al Urubiyah,( Kairo : Dar As Salam, 1404- 1984 ) Cet. Ke – 2, Hal.105-108 . Pengakuan orang-orang Barat terhadap turast Islam bisa juga di rujuk kepada buku DR. Zighrid Honkah, Syamsu Al "Arab Tastha' 'ala Al Ghorb , DR. Muhammad Al Bahi, Al Fikr Al Islami al Hadist wa silatuhu bi Al Isti'mar Al Ghorbi, Muhammad Izzat Ath Thohtowi , Al-Isytisyraq wa Al Musytasyriqun Ahqad wa Hamalat, Prof. DR. Hamdi Zaqzuq, Al Isytisyraq wa Al Kholfiyah Al Fikriyah li Ash Shira' Al-Hadhari "
[54] Syekh Muhammad Ismail Al Muqaddim menyatakan bahwa Ibnu Hajar menulis Fathul Bari dalam waktu 32 tahun dan menyebutnya sebagai " Kamus Sunnah ". Beliau sangat menolak orang yang menjelek-jelekan Fatul Bari hanya karena di dalamnya ada beberapa kesalahan. Kemudian beliau bertanya ; " Apakah ada hijrah setelah " Al Fath ", ? yaitu buku Fathul Bari ( Muhammad Ahmad Ismail Al Muqaddim, Hurmatu Ahli Al Ilmi ( Kairo : Dar Al Aqidah, 1426/2005 ) Cet- Ke 7, Hal.312